Minggu, 12 Mei 2013

Warna Pelangi #bab12

Salsa

Kini, setiap ada waktu, aku selalu pergi ke kolong jembatan. Bermain bersama teman-temanku. Kadang bermain pesan rahasia, kadang pula bermain di sungai, atau bermain bola.
    Hari Minggu ini, aku berencana akan ke kolong jembatan dalam waktu yang lama. Begitu sampai, kulihat sudah ada Ridwann. Kiki dkk. pun segera pergi mengamen agar nanti bisa bermain sepuasnya. Oya, Ridwan juga ikut mengamen, lho! Soalnya, katanya dia mau beli sepatu baru. Sementara itu, aku hanya diam menunggu bersama Bila.
    Saat Kiki dkk. tengah mengamen lumayan jauh, datang seorang pria separuh baya. Bajunya putih bersih, memakai peci, dan tampak ramah. Dia tersenyum kepada kami.
    "Permisi, boleh numpang tanya?" tanya pria itu.
    "Eum .. boleh," jawabku gugup.
    Kulihat Bila terlihat sangat takut. Dia langsung bersembunyi di balik badanku. Ada apa sebenarnya? Apa Bila pernah bertemu Bapak ini sebelumnya?
    "Adek kenal yang namanya Salsa, tidak?" tanya pria itu dengan suara lembut.
    "Salsa? Eum ... kenal. Memang ada perlu apa, ya? Salsanya sedang mengamen sama yang lain," jawabku.
    "Apa? Mengamen? Astagfirullah ... Apa keadaannya baik-baik saja?" tanya pria itu tampak khawatir.
    "Iya, dia baik-baik saja. Memang ada perlu apa dengan Salsa?" tanyaku, mulai waspada.
    "Ah ... jujur, sebenarnya saya ini bapaknya," jawab pria itu.
    "Apa? Bu ... bukannya bapak Salsa itu ..." ucapanku terputus.
    "Itu dulu. Sekarang, saya sudah taubat. Sya rindu dengan Salsa. Berbulan-bulan saya mencarinya. Dengan pertolongan Allah SWT, akhirnya saya berhasil mendapat informasi bahwa dia ada di kolong jembatan. Adek anak baru, ya?" tanya pria itu.
    "I ... iya," jawabku gugup.
    "Nama saya Lukman. Panggil saja Pak Lukman. Dulu, saya sempat datang ke sini. Saya datang dengan mabok dan marah-marah. Saya pun diusir. Di tengah jalan, saya tertabrak dan mengalami amnesia selama 1 bulan. Akhirnya, setelah pengobatan intensif, saya dapat sembuh juga. Saya bisa mengingat kembali masa lalu saya, istri saya. dan Salsa. Namun saya tak bisa mengingat dimana tempat tinggal Salsa. Saya sangat bersyukur telah menemukan Salsa. Saya kemari hendak menjemputnya dan membawa dia pulang ke Serang," terang Pak Lukman panjang lebar.
    "Oh ..."
    Tak lama, datanglah Kiki dkk. Melihat bapaknya datang, Salsa langsung berniat kabur. Kiki, Faldi, Ferdi dan Ridwan berusaha melindungi Salsa karena takut bapaknya akan marah-marah lagi.
    "Nak, maafin bapak, ya! Bapak sadar, selama ini bapak salah," isak Pak Lukman.
    Salsa hanya diam, menunggu kelanjutannya dengan cuek.
    "Karena itu bapak kemari untuk minta maaf atas perlakuan bapak kepadamu. Bapak juga kemari ingin membawa kamu pulang ke Serang. Nenek rindu padamu. Dia menangis setiap malam memikirkanmu. Bapak janji akan bersikap baik padamu. Asal kamu mau kembali, ya?" bujuk Pak Lukman.
    "Bapak bisa saya berbicara, di sini. Tapi nanti di rumah, bapak pasti melakukan hal yang sama lagi!" tolak Salsa keras.
    "Bapak berjanji, Nak. Sumpah demi Allah, bapak tidak lagi seperti dulu. Kini bapak sudah taubat. Kamu mau, kan, pulang bersama bapak? Kita kunjungi Nenek. Dia tengah sakit saat ini," bujuk Pak Lukman tak mau menyerah.
    Aku yang melihatnya hanya bisa diam. Kasihan Pak Lukman. Aku yakin, yakin sekali, dia pasti sudah taubat. Namun, Salsa tetap saja tak mau.
    "Bapak pintar sekali mengarang cerita," balas Salsa. "Pokoknya, Salsa tak mau lagi kembali! Salsa tak mau pulaang!" jerit Salsa.
    "Ya sudah, kalau kamu tak mau. Besok bapak akan kembali. Jika kau tetap tak mau, ya sudah, bapak akan pergi," ucap Pak Lukman, lalu segera pergi ....
    "Salsa, kau tak boleh begitu pada bapakmu! Kuyakin, beliau sudah bertaubay dengan sungguh-sungguh," ucapku begitu Pak Lukman pergi.
    "Kau tak pernah mengerti ...!" jerit Salsa.
    Salsa pun berjalan menghampiriku hingga aku terpojok di tiang yang menahan jembatan di atas. "Kau! Kau sungguh enak! Kau bisa sekolah, kau punya Ayah yang baik. Kau juga masih memiliki Ibu. Memiliki saudara-saudara yang selalu menemanimu. Kau itu kaya raya! Semua kebutuhanmu terpenuhi. Dan karena itu, kau tak pernah bisa mengerti aku ...! Kau tak pernah bisa mengerti perasaanku bagaimana malu dan kecewanya memiliki bapak seperti dia ...!" jerit Salsa sembari menangis deras.
    Kerah bajuku diangkat. Tangannya sudah mengepal, hendak menonjokku. Nafasku tak karuan. Jujur, aku merasa takut dan menyesal karena telah berbicara itu pada Salsa. Kini, aku harus menerima akibatnya.
    Saat tinggal berapa senti lagi kepalannya mengenai pipiku, Kiki dan Faldi datang, berusaha mencegah Salsa. Namun Salsa tak menyerah. Dengan tangan kanannya, sekuat tenaga ia menamparku.
    Taaak!
    Kupegang pipi kiriku. Auw ..! Rasanya sakit sekali. Aku ingin sekali membalasnya, tapi rasa sakit di pipiku menahannya. Rasanya sungguh sangat sakit.
    "Salsa!" bentak Kiki marah. "Kamu nggak boleh gitu sama Qelania! Dia benar! Kuyakin bapakmu sudah bertaubat dengan sungguh-sungguh!"
    "Kau membela Qelania karena kau suka dengan dia, kan? Qelania memang telah mengubah sikapmu! Kau menjadi cuek, dan sering mendiamkan kami semua, teman-temanmu! Dan kau selalu mendekati Qelania! Membelanya! Karena kau suka, kan? Iya, kan?" jerit Salsa kembali, suaranya habis karena saking marahnya.
    Aku melihatnya dengan tatapan tak percaya. Kiki? Suka padaku? Itu tak mungkin! Jelas tidak mungkin!
    "Dasar sok tahu!" Kiki mulai marah.
    Salsa pun menonjok pipi kiri Kiki. Tak mau kalah, Kiki pun menonjok balik pipi kanan Salsa. Dan mereka pun saling bertengkar. Ferdi dan Faldi serta Ridwan berusaha melerai mereka. Namun, mereka malah terkena tonjokan juga.
    Pusing denagn semua ini, aku pun berteriak, "Diam! Sudah cukup! Aku akan pergi, jika itu memang maunya Salsa. Maaf, jika aku telah menghancurkan persahabatan kalian!" ucapku, lalu segera pergi sembari terus memegangi pipiku.
    "Qelania! Jangan pergi!" teriak Kiki.
    Aku menoleh ke arah Kiki. Jujur, aku juga tak mau meninggalkan kolong jembatan. Tapi jika memang itu jalan terbaik, kenapa aku tak melakukannya? Aku pun langsung men-stop angkot dan segera pulang.

***

"Pulanglah, anak manja! Jangan pernah kembali lagi!" teriak Salsa.
    Kiki menoleh ke arah Salsa. Amarahnya sudah memuncak. Begitu tahu akan ada pertengkaran lagi, Faldi, Ferdi, dan Ridwan segera mengamankan Kiki. Sementara itu, Bila hanya menangis di pelukan Rara karena takut.
    "Liatin, Sal! Aku bakal balas dendam!" teriak Kiki.
    "Udah, Ki! Udah! Dia itu kalau marah memang suka begitu. Lagian kan dia cewek. Kenapa tadi kamu tonjok?" tanya Ridwan.
    "Habis dia ngeselin. Lihat! Sekarang, Qelania nggak bakal pernah balik lagi. Semua gara-gara dia!" jawab Kiki, nafasnya tak karuan.
    "Kenapa kamu ladenin, sih? Udahlah, aku yakin Qelania juga bakal balik lagi," balas Faldi.
    "Kalau nggak gimana?" tanya Kiki.
    "Kamu memang ngarepin Qelania, ya?' selidik Ferdi.
    "Ya, nggaklah!" jawab Kiki gugup.
    Ridwan hanya tersenyum melihatnya.
    "Udah, tuh, pipimu biru. Obatin sana!" suruh Ridwan.
    "Iyaa ..." balas Kiki malas.
   
***


    "Dasar sok tahu! Awas aja, Qelania! Aku nggak bakal maafin kamu," ucap Salsa dalam hati, amarahnya masih ada.
    Ditendangnya batu yang ada di depannya. Dia kesal, sangat kesal. Bukan hanya pada Qelania, tapi juga pada Kiki. "Kenapa sih, Kiki ngebela cewek kayak gitu terus? Jelas-jelas dia yang salah gara-gara nyinggung perasaanku!" omel Salsa tak henti-hentinya.
    "Aku nggak bakal mau kalau Qelania balik lagi ke kolong jembatan!" jerit Salsa dalam hati.
    "Dan aku, nggak bakal pernah pulang ke Serang," lanjut Salsa.

***

Sampai di rumah, aku langsung pergi ke kamar dan menangis. Rasanya aku ingin sekali menusuk perutku sendiri dengan anak panah atau pisau. Kenapa aku malah berkata begitu pada Salsa? Aku sungguh sangat menyesal.
    "Bodohnya aku!" jeritku pada diri sendiri.
    Aku pun menangis, lumayan lama. Sampai akhirnya aku tertidur ...

"Tuktuktuk!"
   Tahu-tahu, hari sudah menjelang sore. Ada seseorang yang mengetuk pintuku. Aku pun membukanya dan tampaklah Ridwan tengah berdiri di hadapanku sembari tersenyum. Namun tiba-tiba senyuman itu hilang.
    "Mata kamu merah, Qel," ucap Ridwan.
    Aku melihat ke arah cermin. Ya! Mataku memang merah. Aku pun langsung ke wastafel dan mecuci wajahku yang tampak kusut. Lalu, kuajak Ridwan mengobrol di taman.
    "Ada perlu apa kamu ke sini?" tanyaku seraya memerhatikan ikan-ikan di kolam.
    "Aku ke sini nggak ada keperluan yang serius, kok! Aku cuma mau lihat keadaan kamu. Sama mau kasih saran, mendingan kamu jangan dengar omongan Salsa. Dia bakal balik kayak dulu lagi, kok! Percaya, deh! Meskipun lumayan lama. Tapi aku yakin dia pasti bakal berubah," terang Ridwan.
    "Eum ... tolong sampaikan maafku buat dia, ya!" ucapku menunduk. "Jujur, aku merasa orang paling bodoh sedunia. Ngapain juga coba, aku bilang kayak gitusama Salsa? Aku memang bodoh!"
    "Kamu nggak bodoh. Kamu bener. Baju bapak Salsa sudah berubah. Dan kayaknya, dia memang sudah bertaubat. Ya, kita doakan saja semoga Salsa mau pulang ke Serang. Meski membawa kesedihan untuk yang lain, setidaknya kami senang karena Salsa dapat kembali tinggal bersama bapaknya," bantah Ridwan seraya tersenyum.
    Selanjutnya, kami pun terus mengobrol hingga tak sadar, malam hampir tiba. Ridwan pun pamit pulang.

***

Esoknya, di kolong jembatan ....
    Bapak Salsa memang menepati janjinya. Dia datang kembali, membawa tas besar, bersiap untuk membawa Salsa pulang. Dan jika Salsa tak mau, terpaksa ia harus pulang sendirian.
    "Nak, ayo pulang! Bapak sudah jauh-jauh kemari hanya demi menjemputmu," ajak Pak Lukman.
    "Coba aku lihat dulu, apa isi tas yang bapak bawa?" tanya Salsa.
    Sementara itu, Kiki yang sudah sembuh dari emosinya, bersiaga dengan Faldi dan Ferdi, takut kalau tiba-tiba ada sesuatu.
    Lalu, Pak Lukman pun membuka tas besarnya. Dan tampaklah baju-baju milik Pak Lukman serta beberapa milik Salsa, sebuah sarung, peci, dan sebuah al-qur'an. "Sudah cukup, Nak? Sekarang, bapak sudah benar-benar sadar. Tolong, ikut pulang bersama bapak ke Serang. Mau, ya?" bujuk Pak Lukman.
    Salsa menggeleng. Namun, Pak Lukman tetap tak menyerah. "Ayo, kita pulang! Kita kunjungi makam Ibu bersama-sama. Kita jaga Nenek seperti dulu bersama-sama!" ajak Pak Lukman.
    Salsa menggelng lemah. Pak Lukman pun berdiri di hadapan Salsa. Ukuran tubuhnya disesuaikan dengan ukuran tubuh Salsa. Dipegangnya kedua pundak Salsa. "Ya sudah, kalau kau tak mau. Bapak tak memaksa. Semoga kamu bahagia di sini, ya! Bapak pergi dulu, ya, Nak!" pamit Pak Lukman, lalu mencium kening Salsa, dan segera pergi.
    Baru 5 langkah Pak Lukman pergi, Salsa langsung berteriak, "Pak! Jangan pergi! Tunggu Salsa! Salsa mau ikut! Salsa kangen Nenek!" teriak Salsa.
    Pak Lukman menoleh ke belakang. Bibirnya tersenyum lebar. Lalu dia pun segera menerima pelukan dari Salsa. Kiki, Faldi, Ferdi, Rara, dan Bila yang melihatnya hanya bisa menahan tangis. Sebentar lagi, dia akan berpisah dengan Salsa. Namun, mereka juga senang karena Salsa akhirnya bisa hidup bahagia dengan bapaknya.
    "Teman-teman, aku pamit dulu, ya!" ucap Salsa. "Oya, jika Ridwan kemari, tolong sampaikan padanya, aku mau titip salam maaf untuk Qelania. Jujur, aku sangat menyesal. Dan Qelania sungguh benar. Tolong sampaikan, ya! Aku pergi dulu. Selamat tiggal!" seru Salsa.
    Begitu Salsa pergi, Rara pun berkata, "Aku tak pernah bermimpi memiliki teman se-tomboi dia. Namun aku juga tak pernah bermimpi akan kehilangan dia. Selamat tinggal, Salsa! Semoga kamu bahagia di sana," ucap Rara, lalu air matanya pun menetes.
    "Kak Rara jangan nangis ... Malu tahu!" hibur Bila.
    "Hahaha ..." Rara tertawa dalam tangisannya.
    Kiki, Faldi dan Ferdi sangat tahu betapa sedih hati Rara. Namun, Rara berusaha tegar. Dia tak mau Bila ikut-ikutan menangis.
    Tak lama, datanglah Ridwan dengan wajah khawatir begitu tahu Rara menangis. "Ada apa ini?" tanya Ridwan.
    "Salsa sudah pergi. Dia berpesan agar kau sampaikan pesannya pada Qelania. Dia bilang, dia minta maaf pada Qelania. Jujur, dia sangat menyesal. Dan Qelania sungguh benar," jawab Kiki.
    "Salsa ...? Pergi? Kapan?" tanya Ridwan.
    "Baru saja," jawab Ferdi.
    Ridwan pun hanya bisa terdiam. Dia terlambat. Terlambat untuk mengucapkan salam perpisahan pada Salsa.

***

Hari ini hari Senin. Hari ini sekolahku libur, karena ada rapat guru. Ingin sekali rasanya aku pergi ke kolong jembatan. Tapi rasanya, Salsa masih marah padaku. Dan keluargaku sangat sibuk sehingga tak ada yang dapat bermain denganku.
    Berusaha menghibur diri, aku pun menonton acara ajang pencarian bakat. Yah, meskipun hanya siaran ulang, tapi tak apalah. Tiba-tiba, bel rumahku berbunyi. Aku pun langsung berlari keluar, hendak melihat siapa yang bertamu?
    Kubuka pintu, dan tampaklah Ridwan dengan senyum mengembang di bibirnya. "Salsa sudah pulang bersama bapaknya! Dia menyuruhku untuk menyampaikan salam maaf padamu. Dia bilang, aku mau minta maaf sama Qelania. Jujur, aku sangat menyesal. Dan dia sungguh benar. Ya, setidaknya begitulah. Nah, karena itu ...." Ucapan Ridwan tak dilanjutkan.
    "Apa?" tanyaku penasaran.
    "Aku mengajakmu bermain di kolong jembatan! Mau, ya? Ayo, dong!" bujuk Ridwan.
    "Oke! Tunggu sebentar, aku ganti baju dulu. Masuklah!" seruku, lalu segera naik menuju kamar.
    Kubuka pintu lemari pakaianku. Oh .. aku sangat bahagia! Akhirnya Salsa pulang juga dengan bapaknya. Meskipun itu artinya tak ada lagi Salsa. Tapi ya, sudahlah. Mungkin dia akan senang di sana. Aku juga senang karena dapat kembali bermain ke kolong jembatan. Oh ... aku sangat tak sabar!

***

1 komentar: