Minggu, 07 Juli 2013

Warna Pelangi #bab15

Belum Waktunya

Hari ini hari dimana aku akan mengikuti lomba melukis. Aku sedikit dag dig dug. Aku tak memberitahu orang tuaku soal ini. Aku bilang pada mereka bahwa aku akan bermain ke kolong jembatan. Padahal aku akan menghadiri lomba melukis.
    Aku menaiki kendaraan umum untuk sampai di tempat lomba tersebut. Aku ke sana bersama teman-teman di kolong jembatan. Aku sangat sedih selama perjalanan, tak ada semangat. Aku sudah memprediksi bahwa aku akan kalah. Karena ya ... karena penyakitku ini.
    Sampai di tempat lomba, aku langsung masuk ke ruangan. Dan lomba pun dimulai. Kami diberi waktu 3 jam untuk menyelesaikan lukisan kami. Aku menggambar langit malam dengan taburan bintang.
***
Tibalah saatnya pengumuman. Jantungku berdegup kencang. Aku merasa aku akan menang. Dan aku berharap aku akan menang.
    "Baiklah. Kami umumkan. Juara kelima diraih oleh ... Anasya Vita Sabunga!" teriak MC.
    Pemenang pun langsung maju ke depan. Lalu seorang wanita cantik naik ke atas panggung membawakan lukisan hasil sang pemenang.
    "Juara keempat diraih oleh .. Lita Aulia!" teriak MC kembali.
    "Juara ketiga, diraih oleh ..."
    Jantungku berdegup kencang. Dag, dig, dug, dag, dig, dug. Aku berharap aku akan menang.
    "Hana Syafira!" seru MC.
    "Juara kedua, diarih oleh ... Jessica Maria!" teriak MC keras.
    "Dan, yang paling ditunggu-tunggu ..."
    Jantungku berdegup kencang. Aku merasa aku akan menang. Tapi tidak sekarang. Tapi ... aku sangat ingin menang.
     "Juara pertama, diraih oleh ..."
     Jantungku semakin berdegup kencang. Dag, dig, dug, dag, dig, dug, dag, dig, dug .... Dan tiba-tiba ....
     "Kamila Taniara!!" teriak MC keras.
    Aku langsung jatuh. A ... aku tidak menang? Ta ... tapi ... apa maksud perasaan ini? Aku tidak menang? Aku melihat ke arah teman-temanku. Mereka hanya tersenyum, lalu kami pun pulang.
    Sepanjang perjalanan, aku hanya diam. Aku malu bicara pada teman-teman. Aku takut mereka kecewa. Dan ya ... sebenarnya aku sudah tau mereka kecewa. Oh ... andaikan aku tidak menderita penyakit ini. Pasti aku akan menaaang!
    Sampai di kolong jembatan ...
    "Maaf ya, aku udah kecewain kalian," ucapku merasa sangat bersalah.
    "Bukan salahmu kok! Mungkin belum waktunya. Tapi aku yakin, suatu saat kamu pasti bakal menang," balas Kiki sambil tersenyum.
    Aku pun hanya tersenyum ke arahnya. Senangnya memiliki teman yang pengertian. Mungkin benar apa kata Kiki. Sekarang belum waktunya. Tapi suatu saat nanti, aku pasti akan menang!

Rabu, 03 Juli 2013

Warna Pelangi #bab14


Latihan

Sebelum latihan, kami membeli cat air, kuas, dan kanvas-nya dulu. Sebenarnya aku punya banyak kain kanvas di rumah. Namun karena harus naik angkot, aku pun membeli di toko terdekat. Untung saja aku bawa uang yang cukup banyak.
    Setelah membeli peralatan, aku pun duduk di tanah dan mulai melukis. Aku sudah tahu aku akan membuat gambar apa. Tapi aku tak tahu akan memakai warna apa. Aku kan, buta warna.
    "Em .. Rara, bisa tolong bantu aku?" pintaku.
    "Tentu," jawab Rara.
    Aku meminta bantuan Rara untuk mengambilkan cat air dengan warna masing-masing. Aku tak memberitahunya bahwa aku buta warna.
    "Em .. tolong ambilkan warna .. ungu," pintaku.
    Rara pun mengambilkan cat air warna ungu. Aku pun segera mewarnai cat kanvasku dengan warna ungu. Tiba-tiba, terdengar bunyi Bila terjatuh dari pohon. Lalu dia pun menangis keras.
    "Huaaa!" tangis Bila kencang.
    Rara pun segera berlari menuju tempat Bila berada. Begitupula Ridwan, Kiki, Faldi dan Ferdi yang sedang memakan jambu di pohon.
    "Qelania, kau teruskan tanpa bantuanku, ya? Aku akan mengobati Bila," teriak Rara.
    Aku hanya mengangguk. Aku bingung, harus memakan warna yang mana. Aku kan buta warna. Aku takut hasilku malah jelek nantinya. Tapi aku tak mau mengecewakan mereka. Aku pun mulai mengambil cat, asal menebak saja.
***
1 jam berlalu, akhirnya lukisan sederhanaku pun jadi. Lukisan seorang anak perempuan yang tengah memetik bunga di tamannya sambil memakai topi dan membawa keranjang. Tiba-tiba Rara menghampiriku dan melihat hasilnya.
    "Aku baru pertama kali lihat lukisan seindah ini, lho, Qel. Bagus banget! Dan aku juga baru lihat ada bunga berwarna coklat," komentar Rara.
    Aku hanya terdiam. Awalnya aku menginginkan bunganya itu berwarna merah. Kok menjadi coklat, ya? Ya ampun .. aku malu.
    "Hahaha ... tapi lucu, unik. Bagus sekali! Semuanya rapi," komentar Rara.
    "Ah .. terima kasih," ucapku tersipu.
    "Semua harus melihat ini. Faldi, Ferdi, Kiki, Ridwan, lihatlah! Lukisan yang bagus bukaaaan?!" teriak Rara sambil memamerkan lukisanku.
    "Ah, jangan, hasilnya tidak terlalu bagus  ..." cegatku.
    Namun terlambat, Kiki, Ridwan, Faldi dan Ferdi sudah datang dan melihat lukisanku dengan kagum. Mereka bilang lukisanku sangatlah bagus. Aku jadi tersipu malu.
    "Aku yakin kau akan menangkan lomba itu!" seru Kiki.
    "Aamiin .." jawabku.
    Siang itu, kami berencana menjual lukisanku dan laku! Ada yang membelinya. Aku tak mau menyebutkan harganya tapi yang pasti, uangnya cukup untuk kami makan di warteg.
***

Kamis, 27 Juni 2013

Warna Pelangi #bab13

Lomba Melukis

1 Minggu setelah Salsa pergi, aku dan Ridwan kembali menemui Kiki, Rara, Faldi, Ferdi, dan Bila. Begitu sampai, Bila langsung memelukku.
    "Kak Qel ..! Kita punya berita bagus lho ..!" ucap Bila.
    "Oh ya? Apa itu?" tanyaku.
    "Ini, kita temukan pengumuman ini. Pengumuman lomba melukis. Kan, kau pernah cerita bahwa kau bisa melukis. Nah, kurasa kamu harus ikut lomba ini! Aku yakin kamu bisa menang!" jawab Kiki.
Tiba-tiba aku langsung menunduk. Rasanya aku ingin menangis jika mendengar kata "melukis" mengingat penyakit buta warnaku.
    "Kenapa?" tanya Rara bingung.
    Aku hanya diam. Tak mungkin aku menceritakan penyakitku ini. Aku pun menggeleng. "Ah, tidak apa-apa." jawabku.
   "Jadi, kamu mau ikut lomba ini kan?" tanya Kiki.
   "Ayolah .. ikut saja. Hadiahnya lumayan lho ..! 10 juta untuk pemenang pertama. Kan lumayan, bisa bagi-bagi ke kita buat makan-makan. Hehehe ..." ucap Faldi sambil nyengir.
Semua mata melotot pada Faldi.
    "Apa?" tanya Faldi bingung. "Aku kan hanya bercanda." lanjut Faldi.
    Aku hanya diam. Sebenarnya aku ingin ikut, kan hadiahnya bisa kupakai untuk membantu teman-temanku ini. Tapi ya ... aku pesimis. Tidak mungkin aku menang dengan kondisi seperti ini. Aku BUTA WARNA! Bagaimana mungkin aku bisa menang jika menentukan warna saja salah?!
    "Kamu mau kan ..?" tanya Ferdi.
    Aku tak mau ikut lomba itu, karena takut kalah. Tapi aku tak mungkin mengatakannya. Karena aku takut membuat mereka kecewa. Akhirnya aku pun mengangguk.
    "Iya .. aku ikut," jawabku.
    Tiba-tiba semua pun bersorak. Mereka langsung menyemangatiku. Menyuruhku untuk latihan bersama mereka. Mau tak mau, aku pun mengiyakan.
***

Minggu, 12 Mei 2013

Warna Pelangi #bab12

Salsa

Kini, setiap ada waktu, aku selalu pergi ke kolong jembatan. Bermain bersama teman-temanku. Kadang bermain pesan rahasia, kadang pula bermain di sungai, atau bermain bola.
    Hari Minggu ini, aku berencana akan ke kolong jembatan dalam waktu yang lama. Begitu sampai, kulihat sudah ada Ridwann. Kiki dkk. pun segera pergi mengamen agar nanti bisa bermain sepuasnya. Oya, Ridwan juga ikut mengamen, lho! Soalnya, katanya dia mau beli sepatu baru. Sementara itu, aku hanya diam menunggu bersama Bila.
    Saat Kiki dkk. tengah mengamen lumayan jauh, datang seorang pria separuh baya. Bajunya putih bersih, memakai peci, dan tampak ramah. Dia tersenyum kepada kami.
    "Permisi, boleh numpang tanya?" tanya pria itu.
    "Eum .. boleh," jawabku gugup.
    Kulihat Bila terlihat sangat takut. Dia langsung bersembunyi di balik badanku. Ada apa sebenarnya? Apa Bila pernah bertemu Bapak ini sebelumnya?
    "Adek kenal yang namanya Salsa, tidak?" tanya pria itu dengan suara lembut.
    "Salsa? Eum ... kenal. Memang ada perlu apa, ya? Salsanya sedang mengamen sama yang lain," jawabku.
    "Apa? Mengamen? Astagfirullah ... Apa keadaannya baik-baik saja?" tanya pria itu tampak khawatir.
    "Iya, dia baik-baik saja. Memang ada perlu apa dengan Salsa?" tanyaku, mulai waspada.
    "Ah ... jujur, sebenarnya saya ini bapaknya," jawab pria itu.
    "Apa? Bu ... bukannya bapak Salsa itu ..." ucapanku terputus.
    "Itu dulu. Sekarang, saya sudah taubat. Sya rindu dengan Salsa. Berbulan-bulan saya mencarinya. Dengan pertolongan Allah SWT, akhirnya saya berhasil mendapat informasi bahwa dia ada di kolong jembatan. Adek anak baru, ya?" tanya pria itu.
    "I ... iya," jawabku gugup.
    "Nama saya Lukman. Panggil saja Pak Lukman. Dulu, saya sempat datang ke sini. Saya datang dengan mabok dan marah-marah. Saya pun diusir. Di tengah jalan, saya tertabrak dan mengalami amnesia selama 1 bulan. Akhirnya, setelah pengobatan intensif, saya dapat sembuh juga. Saya bisa mengingat kembali masa lalu saya, istri saya. dan Salsa. Namun saya tak bisa mengingat dimana tempat tinggal Salsa. Saya sangat bersyukur telah menemukan Salsa. Saya kemari hendak menjemputnya dan membawa dia pulang ke Serang," terang Pak Lukman panjang lebar.
    "Oh ..."
    Tak lama, datanglah Kiki dkk. Melihat bapaknya datang, Salsa langsung berniat kabur. Kiki, Faldi, Ferdi dan Ridwan berusaha melindungi Salsa karena takut bapaknya akan marah-marah lagi.
    "Nak, maafin bapak, ya! Bapak sadar, selama ini bapak salah," isak Pak Lukman.
    Salsa hanya diam, menunggu kelanjutannya dengan cuek.
    "Karena itu bapak kemari untuk minta maaf atas perlakuan bapak kepadamu. Bapak juga kemari ingin membawa kamu pulang ke Serang. Nenek rindu padamu. Dia menangis setiap malam memikirkanmu. Bapak janji akan bersikap baik padamu. Asal kamu mau kembali, ya?" bujuk Pak Lukman.
    "Bapak bisa saya berbicara, di sini. Tapi nanti di rumah, bapak pasti melakukan hal yang sama lagi!" tolak Salsa keras.
    "Bapak berjanji, Nak. Sumpah demi Allah, bapak tidak lagi seperti dulu. Kini bapak sudah taubat. Kamu mau, kan, pulang bersama bapak? Kita kunjungi Nenek. Dia tengah sakit saat ini," bujuk Pak Lukman tak mau menyerah.
    Aku yang melihatnya hanya bisa diam. Kasihan Pak Lukman. Aku yakin, yakin sekali, dia pasti sudah taubat. Namun, Salsa tetap saja tak mau.
    "Bapak pintar sekali mengarang cerita," balas Salsa. "Pokoknya, Salsa tak mau lagi kembali! Salsa tak mau pulaang!" jerit Salsa.
    "Ya sudah, kalau kamu tak mau. Besok bapak akan kembali. Jika kau tetap tak mau, ya sudah, bapak akan pergi," ucap Pak Lukman, lalu segera pergi ....
    "Salsa, kau tak boleh begitu pada bapakmu! Kuyakin, beliau sudah bertaubay dengan sungguh-sungguh," ucapku begitu Pak Lukman pergi.
    "Kau tak pernah mengerti ...!" jerit Salsa.
    Salsa pun berjalan menghampiriku hingga aku terpojok di tiang yang menahan jembatan di atas. "Kau! Kau sungguh enak! Kau bisa sekolah, kau punya Ayah yang baik. Kau juga masih memiliki Ibu. Memiliki saudara-saudara yang selalu menemanimu. Kau itu kaya raya! Semua kebutuhanmu terpenuhi. Dan karena itu, kau tak pernah bisa mengerti aku ...! Kau tak pernah bisa mengerti perasaanku bagaimana malu dan kecewanya memiliki bapak seperti dia ...!" jerit Salsa sembari menangis deras.
    Kerah bajuku diangkat. Tangannya sudah mengepal, hendak menonjokku. Nafasku tak karuan. Jujur, aku merasa takut dan menyesal karena telah berbicara itu pada Salsa. Kini, aku harus menerima akibatnya.
    Saat tinggal berapa senti lagi kepalannya mengenai pipiku, Kiki dan Faldi datang, berusaha mencegah Salsa. Namun Salsa tak menyerah. Dengan tangan kanannya, sekuat tenaga ia menamparku.
    Taaak!
    Kupegang pipi kiriku. Auw ..! Rasanya sakit sekali. Aku ingin sekali membalasnya, tapi rasa sakit di pipiku menahannya. Rasanya sungguh sangat sakit.
    "Salsa!" bentak Kiki marah. "Kamu nggak boleh gitu sama Qelania! Dia benar! Kuyakin bapakmu sudah bertaubat dengan sungguh-sungguh!"
    "Kau membela Qelania karena kau suka dengan dia, kan? Qelania memang telah mengubah sikapmu! Kau menjadi cuek, dan sering mendiamkan kami semua, teman-temanmu! Dan kau selalu mendekati Qelania! Membelanya! Karena kau suka, kan? Iya, kan?" jerit Salsa kembali, suaranya habis karena saking marahnya.
    Aku melihatnya dengan tatapan tak percaya. Kiki? Suka padaku? Itu tak mungkin! Jelas tidak mungkin!
    "Dasar sok tahu!" Kiki mulai marah.
    Salsa pun menonjok pipi kiri Kiki. Tak mau kalah, Kiki pun menonjok balik pipi kanan Salsa. Dan mereka pun saling bertengkar. Ferdi dan Faldi serta Ridwan berusaha melerai mereka. Namun, mereka malah terkena tonjokan juga.
    Pusing denagn semua ini, aku pun berteriak, "Diam! Sudah cukup! Aku akan pergi, jika itu memang maunya Salsa. Maaf, jika aku telah menghancurkan persahabatan kalian!" ucapku, lalu segera pergi sembari terus memegangi pipiku.
    "Qelania! Jangan pergi!" teriak Kiki.
    Aku menoleh ke arah Kiki. Jujur, aku juga tak mau meninggalkan kolong jembatan. Tapi jika memang itu jalan terbaik, kenapa aku tak melakukannya? Aku pun langsung men-stop angkot dan segera pulang.

***

"Pulanglah, anak manja! Jangan pernah kembali lagi!" teriak Salsa.
    Kiki menoleh ke arah Salsa. Amarahnya sudah memuncak. Begitu tahu akan ada pertengkaran lagi, Faldi, Ferdi, dan Ridwan segera mengamankan Kiki. Sementara itu, Bila hanya menangis di pelukan Rara karena takut.
    "Liatin, Sal! Aku bakal balas dendam!" teriak Kiki.
    "Udah, Ki! Udah! Dia itu kalau marah memang suka begitu. Lagian kan dia cewek. Kenapa tadi kamu tonjok?" tanya Ridwan.
    "Habis dia ngeselin. Lihat! Sekarang, Qelania nggak bakal pernah balik lagi. Semua gara-gara dia!" jawab Kiki, nafasnya tak karuan.
    "Kenapa kamu ladenin, sih? Udahlah, aku yakin Qelania juga bakal balik lagi," balas Faldi.
    "Kalau nggak gimana?" tanya Kiki.
    "Kamu memang ngarepin Qelania, ya?' selidik Ferdi.
    "Ya, nggaklah!" jawab Kiki gugup.
    Ridwan hanya tersenyum melihatnya.
    "Udah, tuh, pipimu biru. Obatin sana!" suruh Ridwan.
    "Iyaa ..." balas Kiki malas.
   
***


    "Dasar sok tahu! Awas aja, Qelania! Aku nggak bakal maafin kamu," ucap Salsa dalam hati, amarahnya masih ada.
    Ditendangnya batu yang ada di depannya. Dia kesal, sangat kesal. Bukan hanya pada Qelania, tapi juga pada Kiki. "Kenapa sih, Kiki ngebela cewek kayak gitu terus? Jelas-jelas dia yang salah gara-gara nyinggung perasaanku!" omel Salsa tak henti-hentinya.
    "Aku nggak bakal mau kalau Qelania balik lagi ke kolong jembatan!" jerit Salsa dalam hati.
    "Dan aku, nggak bakal pernah pulang ke Serang," lanjut Salsa.

***

Sampai di rumah, aku langsung pergi ke kamar dan menangis. Rasanya aku ingin sekali menusuk perutku sendiri dengan anak panah atau pisau. Kenapa aku malah berkata begitu pada Salsa? Aku sungguh sangat menyesal.
    "Bodohnya aku!" jeritku pada diri sendiri.
    Aku pun menangis, lumayan lama. Sampai akhirnya aku tertidur ...

"Tuktuktuk!"
   Tahu-tahu, hari sudah menjelang sore. Ada seseorang yang mengetuk pintuku. Aku pun membukanya dan tampaklah Ridwan tengah berdiri di hadapanku sembari tersenyum. Namun tiba-tiba senyuman itu hilang.
    "Mata kamu merah, Qel," ucap Ridwan.
    Aku melihat ke arah cermin. Ya! Mataku memang merah. Aku pun langsung ke wastafel dan mecuci wajahku yang tampak kusut. Lalu, kuajak Ridwan mengobrol di taman.
    "Ada perlu apa kamu ke sini?" tanyaku seraya memerhatikan ikan-ikan di kolam.
    "Aku ke sini nggak ada keperluan yang serius, kok! Aku cuma mau lihat keadaan kamu. Sama mau kasih saran, mendingan kamu jangan dengar omongan Salsa. Dia bakal balik kayak dulu lagi, kok! Percaya, deh! Meskipun lumayan lama. Tapi aku yakin dia pasti bakal berubah," terang Ridwan.
    "Eum ... tolong sampaikan maafku buat dia, ya!" ucapku menunduk. "Jujur, aku merasa orang paling bodoh sedunia. Ngapain juga coba, aku bilang kayak gitusama Salsa? Aku memang bodoh!"
    "Kamu nggak bodoh. Kamu bener. Baju bapak Salsa sudah berubah. Dan kayaknya, dia memang sudah bertaubat. Ya, kita doakan saja semoga Salsa mau pulang ke Serang. Meski membawa kesedihan untuk yang lain, setidaknya kami senang karena Salsa dapat kembali tinggal bersama bapaknya," bantah Ridwan seraya tersenyum.
    Selanjutnya, kami pun terus mengobrol hingga tak sadar, malam hampir tiba. Ridwan pun pamit pulang.

***

Esoknya, di kolong jembatan ....
    Bapak Salsa memang menepati janjinya. Dia datang kembali, membawa tas besar, bersiap untuk membawa Salsa pulang. Dan jika Salsa tak mau, terpaksa ia harus pulang sendirian.
    "Nak, ayo pulang! Bapak sudah jauh-jauh kemari hanya demi menjemputmu," ajak Pak Lukman.
    "Coba aku lihat dulu, apa isi tas yang bapak bawa?" tanya Salsa.
    Sementara itu, Kiki yang sudah sembuh dari emosinya, bersiaga dengan Faldi dan Ferdi, takut kalau tiba-tiba ada sesuatu.
    Lalu, Pak Lukman pun membuka tas besarnya. Dan tampaklah baju-baju milik Pak Lukman serta beberapa milik Salsa, sebuah sarung, peci, dan sebuah al-qur'an. "Sudah cukup, Nak? Sekarang, bapak sudah benar-benar sadar. Tolong, ikut pulang bersama bapak ke Serang. Mau, ya?" bujuk Pak Lukman.
    Salsa menggeleng. Namun, Pak Lukman tetap tak menyerah. "Ayo, kita pulang! Kita kunjungi makam Ibu bersama-sama. Kita jaga Nenek seperti dulu bersama-sama!" ajak Pak Lukman.
    Salsa menggelng lemah. Pak Lukman pun berdiri di hadapan Salsa. Ukuran tubuhnya disesuaikan dengan ukuran tubuh Salsa. Dipegangnya kedua pundak Salsa. "Ya sudah, kalau kau tak mau. Bapak tak memaksa. Semoga kamu bahagia di sini, ya! Bapak pergi dulu, ya, Nak!" pamit Pak Lukman, lalu mencium kening Salsa, dan segera pergi.
    Baru 5 langkah Pak Lukman pergi, Salsa langsung berteriak, "Pak! Jangan pergi! Tunggu Salsa! Salsa mau ikut! Salsa kangen Nenek!" teriak Salsa.
    Pak Lukman menoleh ke belakang. Bibirnya tersenyum lebar. Lalu dia pun segera menerima pelukan dari Salsa. Kiki, Faldi, Ferdi, Rara, dan Bila yang melihatnya hanya bisa menahan tangis. Sebentar lagi, dia akan berpisah dengan Salsa. Namun, mereka juga senang karena Salsa akhirnya bisa hidup bahagia dengan bapaknya.
    "Teman-teman, aku pamit dulu, ya!" ucap Salsa. "Oya, jika Ridwan kemari, tolong sampaikan padanya, aku mau titip salam maaf untuk Qelania. Jujur, aku sangat menyesal. Dan Qelania sungguh benar. Tolong sampaikan, ya! Aku pergi dulu. Selamat tiggal!" seru Salsa.
    Begitu Salsa pergi, Rara pun berkata, "Aku tak pernah bermimpi memiliki teman se-tomboi dia. Namun aku juga tak pernah bermimpi akan kehilangan dia. Selamat tinggal, Salsa! Semoga kamu bahagia di sana," ucap Rara, lalu air matanya pun menetes.
    "Kak Rara jangan nangis ... Malu tahu!" hibur Bila.
    "Hahaha ..." Rara tertawa dalam tangisannya.
    Kiki, Faldi dan Ferdi sangat tahu betapa sedih hati Rara. Namun, Rara berusaha tegar. Dia tak mau Bila ikut-ikutan menangis.
    Tak lama, datanglah Ridwan dengan wajah khawatir begitu tahu Rara menangis. "Ada apa ini?" tanya Ridwan.
    "Salsa sudah pergi. Dia berpesan agar kau sampaikan pesannya pada Qelania. Dia bilang, dia minta maaf pada Qelania. Jujur, dia sangat menyesal. Dan Qelania sungguh benar," jawab Kiki.
    "Salsa ...? Pergi? Kapan?" tanya Ridwan.
    "Baru saja," jawab Ferdi.
    Ridwan pun hanya bisa terdiam. Dia terlambat. Terlambat untuk mengucapkan salam perpisahan pada Salsa.

***

Hari ini hari Senin. Hari ini sekolahku libur, karena ada rapat guru. Ingin sekali rasanya aku pergi ke kolong jembatan. Tapi rasanya, Salsa masih marah padaku. Dan keluargaku sangat sibuk sehingga tak ada yang dapat bermain denganku.
    Berusaha menghibur diri, aku pun menonton acara ajang pencarian bakat. Yah, meskipun hanya siaran ulang, tapi tak apalah. Tiba-tiba, bel rumahku berbunyi. Aku pun langsung berlari keluar, hendak melihat siapa yang bertamu?
    Kubuka pintu, dan tampaklah Ridwan dengan senyum mengembang di bibirnya. "Salsa sudah pulang bersama bapaknya! Dia menyuruhku untuk menyampaikan salam maaf padamu. Dia bilang, aku mau minta maaf sama Qelania. Jujur, aku sangat menyesal. Dan dia sungguh benar. Ya, setidaknya begitulah. Nah, karena itu ...." Ucapan Ridwan tak dilanjutkan.
    "Apa?" tanyaku penasaran.
    "Aku mengajakmu bermain di kolong jembatan! Mau, ya? Ayo, dong!" bujuk Ridwan.
    "Oke! Tunggu sebentar, aku ganti baju dulu. Masuklah!" seruku, lalu segera naik menuju kamar.
    Kubuka pintu lemari pakaianku. Oh .. aku sangat bahagia! Akhirnya Salsa pulang juga dengan bapaknya. Meskipun itu artinya tak ada lagi Salsa. Tapi ya, sudahlah. Mungkin dia akan senang di sana. Aku juga senang karena dapat kembali bermain ke kolong jembatan. Oh ... aku sangat tak sabar!

***

Sabtu, 11 Mei 2013

Warna Pelangi #bab11

Kembali

Siang hari, saat istirahat sekolah ...
    Aku dan Tina, yang sudah tak berurusan dengan perpustakaan lagi, duduk di meja nomor 5. Kami berdua kompak memesan bakso dan teh botol dingin. Itu memang menu favorit kami. Tak alam berlangsung, datanglah Ridwan. Tak biasanya dia datang dengan wajah serius.
    "Qel, kemarin aku ke kolong jembatan," cerita Ridwan. "Aku mengajak mereka main pesan rahasia. Dan aku sudah tahu masalahmu. Rara membencimu. Benar begitu?" tanya Ridwan.
    Aku pun mengangguk.
    "Kemarin, pengukir pertama adalah Bila. Kau tahu dia menulsi apa? Dia menulis Aku ingin Kak Qel! Itu tandanya Bila rindu kepadamu. Bukan hanya Bila, tapi semuanya. Kemarin kulihat semuanya menggunakan apa yang kamu beri. Kalung tengkorak, sandal, voucher, buku, dan gitar. Hanya Rara yang tak memakai pemberianmu. Wajahnya tampak merasa bersalah. Jadi ...." Ridwan tak melanjutkan perkataannya.
    "Jadi ...?" tanyaku penasaran.
    "Kamu mau, kan, baikan sama Rara dan datang ke kolong jembatan? Ini semua untuk Bila. Bukan hanya Bila, tapi juga semuanya," jawab Ridwan.
    "Eum ... aku pikir-pikir dulu, deh!" balasku.
    "Oya, Bila juga minta alamatmu," ucap Ridwan begitu ingat.
    "Ini ada apa, sih?" tanya Tina bingung.
    "Eum ... lain kali aku akan cerita," jawabku tersenyum.
    Lalu aku segera melanjutkan obrolanku dengan Ridwan, "Alamat? Baiklah, lain kali saja. Oya, gimana kalau kamu duluan ke kolong jembatan, nanti kalau ada waktu, aku bakal nyusul. Soalnya, hari ini rencananya aku bakal pergi ke mall sama Ibu," jawabku.
    "Eum .. aku nggak ngerti apa yang kalian bicarakan. Jadi, aku ke kelas saja, deh! Daah!" pamit Tina.
    "Nanti aku akan menyusulmu!" teriakku.
    "Oke, deh!" balas Ridwan, lalu ia pun segera pamit ke kelasnya.

***

Sepulang sekolah, aku langsung berganti baju. Lalu aku dan Ibu segera pergi ke mall. Kak Kanya dan Kak Nino tidak ikut karena masih bersekolah.
    "Bu, hari ini aku mau ke kolong jembatan, ngunjungi teman-teman waktu aku kabur. Boleh, ya?" ucapku meminta izin.
    "Boleh saja. Tapi diantar sama Ibu, ya! Jangan sendirian. Ibu takut kamu tertabrak," jawab Ibu.
    "Iya, Bu, tenang! Oya, kan, nggak enak, dong, kalau di sana cuma bawa tangan kosong. Jadi, aku mau sekalian beli brownies untuk mereka. Boleh, ya?" pintaku.
    "Iya, boleh saja. Oya, kapan-kapan, teman-temanmu itu ajak dong, ke rumah! Ibu juga kan, mau kenalan sekalian berterima kasih karena telah menemani kamu saat kabur," Ibu balik meminta.
    "Ya, nanti aku ajak, deh!" balasku.
    Saat sampai di mall, kami langsung menuju restoran. Di sana, kami makan dahulu. Lalu, setelah itu, kami pergi membeli baju. Barulah saat hendak pulang, kami membeli brownies. Sepulanh dari mall, aku langsung pergi ke kolong jembatan sembari pulang.
    Sampai di kolong jembatan, kulihat teman-teman, juga Ridwan, tengah melongo melihat ada sebuah mobil berhenti di depan mereka. Duh, aku jadi malu untuk turun. Dengan mengumpulkan keberanian, aku pun turun.
    "Ibu pulang dulu, ya! Daah!" pamit Ibu. "Telepon Ibu kalau hendak pulang!" pesan Ibu, lalu segera pergi.
    Aku tersenyum ke arah mereka. Tiba-tiba Bial memelukkudan berterialk kencang. "Kak Qel! Bila rindu ... sama Kak Qel!" teriaknya.
    "Iya, Kak Qel juga rindu. Maaf, ya, udah pergi tanpa pamit," ucapku.
    "Qelania," ucap Rara terisak. Lalu ia pun memelukku, "Maafkan aku, ya! Aku sudah membencimu. Jujur, aku menyesal. Dan jujur, aku itu nggak mau kamu dekat sama Kiki. Sampai aku sadar bahwa ternyata kamu baik, dan semua orang berhak untuk berteman denagn siapa saja. Maafin aku! Kuhomon maafkan aku. Aku akan melakukan apa saja untukmu," tangis Rara.
    "Ah, tidak usah! Aku sudah memaafkanmu, kok!: balasku.
    Kulihat ke arah yang lain. Mereka semua melongo, tak mengerti apa yang dimaksud kata 'Minta maaf'. Kami berdua yang melihatnya pun hanya tersenyum.
    Tiba-tiba kuingat sesuatu. Brownies! Aku pun langsung menunjukkan 2 kotak brownies yang tadi kubeli. Lalu kuberikan pada mereka. "Ayo, dimakan. Nggak usah malu-malu," ucapku.
    "Asik! Kak Qel bawa makanan!" seru Bila senang, lalu segera mengambil satu. "Kak Faldi nggak makan? Perutnya entar jadi kecil, lho!"
    Semua pun tertawa mendengar ucapan Bila. Aku senang sekali. Dapat kembali ke kolong jembatan. Bukan hanya kembali bertemu teman-teman, tapi juga kembali membuat mereka tertawa. Rasanya senang sekali melihat mereka dapat tersenyum. Andaikan aku daoat terus bersama mereka ....

***

Jumat, 10 Mei 2013

Warna Pelangi #bab10

Kanan Pohon

    Esoknya, begitu bis sekolah datang, aku langsung menaikinya dan duduk di samping Ridwan. Ridwan tersenyum ke arahku. Aku pun membalas senyumannya. "Bagaimana kemarin?" tanyaku tak sabar.
    "Sudah aku sampaikan! Mereka semua senang, apalagi Faldi. Tapi, ada juga yang menurutku hanya 'pura-pura' senang. Rara. Saat aku melihatnya, dia tersenyum kecut. Saat ia sendirian, kulihat ia sedih. Seperti merasa bersalah. Lalu juga Kiki, dia minta alamatmu. Tapi tak kuberi, karena aku belum dapat izin darimu. Oya, sebenarnya ada apa, sih, dengan Rara? Kok, dia tampak merasa bersalah? Siapa tahu ada sangkut-pautnya denganmu," jelas Ridwan.
    "Rara? Eum ... aku tak bisa jelaskan semuanya. Kau tahu permainan Surat Rahasia? Nah, di pohon yang biasa teman-temanmu pakai. Di sanalah jawabannya. Ada di bagian kanan pohon. Karena itulah, aku berniat untuk pulang dan tak bertemu lagi dengan mereka, karena kupikir Rara merasa tak nyaman jika aku ada di sana," jawabku menunduk.
    "Kanan pohon?" tanya Ridwan.
    "Iya. Di bagian kanan pohon," jawabku.
    Kulihat ke arah Ridwan. Dia tengah termenung. Sepertinya ia berkata dalam hatinya. Kanan pohon ... kanan pohon .. ya! Aku harus temukan ...
    "Ya, sudah sampai! Silakan turun! Jangan berdesakan!" seru Pak Supir.
    Seperti biasa, kami turun lewat pintu belakang. Dia lapangan, kami pun berpamitan. Aku ke arah kanan, Ridwan ke arah kiri. Dan seperti biasa,  aku duduk di sebelah Tina.
    "Qel, hari ini aku nggak bisa ke kantin. Aku ada urusan di perpustakaan lagi. Kemarin itu buku IPA yang aku ambil salah. Padahal udah capek-capek nyari. Nggak taunya salah," omel Tina. "Kamu nggak apa-apa, kan, nggak aku temani ke kantin kayak kemarin?"
    "Ya tentu nggak apa-apa, dong!" jawabku tersenyum.

***

Pulang sekolah, Ridwan segera pulang, berganti baju dan langsung ke kolong jembatan. Dengan hati-hati ia menyebrang di zebra cross. Sampai di kolong jembatan, ia melihat hanya ada Bila di sana.
    "Kakak kemana?" tanya Ridwan, menanyakan Kiki.
    "Kak Kiki lagi ngamen," jawab Bila lemas.
    "Kok lemas gitu? Semangat, dong! Kan, kemarin dapat sandal baru," hibur Ridwan.
    "Bosen soalnya. Nggak ada temen," balas Bila. "Coba ada Kak Qel. Bila kan, nggak kesepian."
    "Rindu Kak Qel, ya?" tebak Ridwan.
    Bila mengangguk. "Anterin Bila ke rumahnya dong!" pinta Bila.
    "Nanti, deh, Kak Ridwan bilang dulu sama Kak Qel, ya!" balas Ridwan simpati.
    "Iya," ucap Bila singkat.
    Tak lama, datanglah Kiki dkk. Mereka habis mengamen. Dilihatnya Kiki menggenggam gitar barunya. Dia mengamen dengan gitar barunya. Lalu dilihat Salsa memakai kalungnya. Ferdi tengah membaca Harry Potternya, dan Faldi asyik dengan ikannya. Hanya Rara yang tak terlihat memakai kalungnya.
    Benar-benar ada masalah, nih! Duuh, jadi pingin cepat-cepat!
    "Eh, main pesan rahasia, yuk!" ajak Ridwan.
    "Ayuk! Bila udah bosen daritadi. Pingin main!" ucap Bila setuju.
    Akhirnya, semua pun setuju. Mereka pun ber-hompimpa. Dan, terpilihlah Bila menjadi pengukirnya. Semua pun menutup mata. Bila langsung mengukir pesan rahasianya.
    "Sudah!" seru Bila.
    Semua pun langsung menyerbu pohon. Ridwan langsung menuju bagian kanan pohon. Dan dia melihat ada gambar di sana. Kini, Ridwan pun tahu apa masalahnya. Tiba-tiba, Salsa berseru. "Aku menemukan pesan rahasianya! Pesannya Aku ingin Kak Qel!" seru Salsa.
    Semua melongok ke arah Bila. Semua tahu, Bila sangat merindukan Qelania. Ridwan yang melihatnya menjadi terharu. Ia pun bertekad akan menemui Qelania besok dan memberitahu semuanya! Tentang Bila yang rindu padanya, tentang teman-teman yang menggunakan pemberiannya, kecuali Rara, lalu tentang dia saat berhasil menemukan pesan rahasia Rara ....

Warna Pelangi #bab9

Titipan

Sepulang sekolah, aku langsung masuk ke gudang. Aku mencari sebuah kotak. Kotak kayu berukuran besar dengan ukiran bunga di setiap sisinya. Kisingkirkan barang-barang tak berguna lainnya. Nmaun tetap saja aku tak menemukannya.
    Tiba-tiba, aku merasa ada yang menyentuh kakiku. Kulihat ke arah bawah.
    "Huwa ...! Tikus ...!" jeritku, lalu segera meninggalkan gudang.
    "Kamu kenapa, Dek?" tanya Kak Kanya bingung.
    "Itu, di gudang ada tikus," jawabku.
    "Hah? Di gudang? Ngapain kamu ke gudang?" tanya Kak Kanya heran.
    "Mau cari kotak kayu yang ada ukiran bunganya itu, lho, Kak! Kakak lihat, tidak?" aku balik bertanya.
    "Lihat. Tapi sudah kakak kasih ke teman kakak sebagai hadiah perpisahan. Ada juga yang ukurannya kecil. Mau?" tawar Kak Kanya.
    "Eum ... boleh, deh!" jawabku.
    Kak Kanya pun masuk ke kamarnya, lalu kembali lagi dengan membawa kotak kayu berukir, namun ukurannya lebih kecil. "Terima kasih," ucapku, lalu segera pergi ke kamar.
    Di kamar ...
    "Hm ... Ferdi suka buku, aku kasih saja buku Harry Potter. Kan tebal, tuh! Jadi bisa lama dibacanya," ucapku, lalu segera mengambil buku Harry Potter di rak buku milikku.
    "Faldi suka makanan. Aku kasih apa, ya? Kalau aku kasih makanan, ntar bisa basi," pikirku bingung.
    Akhirnya kuacak-acak laci meja belajarku. Dan kutemukan voucher makan di Restoran Ikan. Batas penukaran vouchernya hingga lusa. Lalu, kuambil kalung tengkorak untuk Salsa, kalung berbandul kristal (mainan) untuk Rara, sandal bekas (tetapi masih bagus) untuk Bila. Dan, aku tak tahu apa yang ahrus kuberi untuk Kiki. Aku tak tahu apa kesukaannya. Akhirnya, kuambil saja gitar kecil untuknya.
    Lalu, kutata rapi semua itu di dalam kotak kayu. Sebisa mungkin untuk menyimpan semuanya. Hingga akhirnya, selesai juga! Tinggal kutulis surat yang berisi:

    Untuk teman-temanku di kolong jembatan
    Hai! Aku rindu kalian. Bagaimana keadaan kalian? Semoga baik-baik saja, sama sepertiku! Oya, aku ingin memberikan ini untuk kalian. Semoga kalian suka, ya! Maaf, aku tak bisa datang dan hanya bisa menitipkannya pada Ridwan. Oya, kuharap kalian mau memaafkan Ridwan.
    Harry Potter untuk Ferdi. Voucher ke Restoran Ikan untuk Faldi. Kalung tengkorak untuk Salsa. Kalung berbandul kristal untuk Rara, sandal untuk Bila, dan gitar kecil untuk Kiki. Maaf, aku hanya bisa memberikan gitar. Soalnya aku tak tahu apa kesukaanmu.
    Semoga kalian suka, ya! 
Salam, Qelania

    Usai menulis surat, kumasukkan surat itu ke dalam kotak. Lalu, aku segera pergi, hendak makan siang. Dan kutinggalkan kotak itu di kamar ...

***

Ting tong!
    Bel rumahku berbunyi. Aku langsung membukanya. Rupanya Ridwan yang datang.
    "Ayo, masuk dulu! Aku mau ambil barangnya dulu!" ucapku.
    "Ah, tidak usah. Aku tunggu saja di sini," balas Ridwan.
    "Oh, kalau begitu baiklah. Tunggu, ya!" ucapku.
    Aku pun segera naik ke kamar. Lalu mengambil kotak kayu dan kembali lagi. "Ini, jangan dibuka, ya! Oya, aku juga ingin memberikan sesuatu." ucapku.
    Kuambil coklat di kulkas. Lalu kuberikan pada Ridwan. "Ini, untuk bayaranmu." 
    Kami pun tertawa. "Terima kasih. Ya sudah, aku pergi dulu, ya!" pamit Ridwan.
    "Titip salam untuk semuanya!" seruku.
    "Ok!" balas Ridwan lalu segera pergi.
***