Minggu, 12 Mei 2013

Warna Pelangi #bab12

Salsa

Kini, setiap ada waktu, aku selalu pergi ke kolong jembatan. Bermain bersama teman-temanku. Kadang bermain pesan rahasia, kadang pula bermain di sungai, atau bermain bola.
    Hari Minggu ini, aku berencana akan ke kolong jembatan dalam waktu yang lama. Begitu sampai, kulihat sudah ada Ridwann. Kiki dkk. pun segera pergi mengamen agar nanti bisa bermain sepuasnya. Oya, Ridwan juga ikut mengamen, lho! Soalnya, katanya dia mau beli sepatu baru. Sementara itu, aku hanya diam menunggu bersama Bila.
    Saat Kiki dkk. tengah mengamen lumayan jauh, datang seorang pria separuh baya. Bajunya putih bersih, memakai peci, dan tampak ramah. Dia tersenyum kepada kami.
    "Permisi, boleh numpang tanya?" tanya pria itu.
    "Eum .. boleh," jawabku gugup.
    Kulihat Bila terlihat sangat takut. Dia langsung bersembunyi di balik badanku. Ada apa sebenarnya? Apa Bila pernah bertemu Bapak ini sebelumnya?
    "Adek kenal yang namanya Salsa, tidak?" tanya pria itu dengan suara lembut.
    "Salsa? Eum ... kenal. Memang ada perlu apa, ya? Salsanya sedang mengamen sama yang lain," jawabku.
    "Apa? Mengamen? Astagfirullah ... Apa keadaannya baik-baik saja?" tanya pria itu tampak khawatir.
    "Iya, dia baik-baik saja. Memang ada perlu apa dengan Salsa?" tanyaku, mulai waspada.
    "Ah ... jujur, sebenarnya saya ini bapaknya," jawab pria itu.
    "Apa? Bu ... bukannya bapak Salsa itu ..." ucapanku terputus.
    "Itu dulu. Sekarang, saya sudah taubat. Sya rindu dengan Salsa. Berbulan-bulan saya mencarinya. Dengan pertolongan Allah SWT, akhirnya saya berhasil mendapat informasi bahwa dia ada di kolong jembatan. Adek anak baru, ya?" tanya pria itu.
    "I ... iya," jawabku gugup.
    "Nama saya Lukman. Panggil saja Pak Lukman. Dulu, saya sempat datang ke sini. Saya datang dengan mabok dan marah-marah. Saya pun diusir. Di tengah jalan, saya tertabrak dan mengalami amnesia selama 1 bulan. Akhirnya, setelah pengobatan intensif, saya dapat sembuh juga. Saya bisa mengingat kembali masa lalu saya, istri saya. dan Salsa. Namun saya tak bisa mengingat dimana tempat tinggal Salsa. Saya sangat bersyukur telah menemukan Salsa. Saya kemari hendak menjemputnya dan membawa dia pulang ke Serang," terang Pak Lukman panjang lebar.
    "Oh ..."
    Tak lama, datanglah Kiki dkk. Melihat bapaknya datang, Salsa langsung berniat kabur. Kiki, Faldi, Ferdi dan Ridwan berusaha melindungi Salsa karena takut bapaknya akan marah-marah lagi.
    "Nak, maafin bapak, ya! Bapak sadar, selama ini bapak salah," isak Pak Lukman.
    Salsa hanya diam, menunggu kelanjutannya dengan cuek.
    "Karena itu bapak kemari untuk minta maaf atas perlakuan bapak kepadamu. Bapak juga kemari ingin membawa kamu pulang ke Serang. Nenek rindu padamu. Dia menangis setiap malam memikirkanmu. Bapak janji akan bersikap baik padamu. Asal kamu mau kembali, ya?" bujuk Pak Lukman.
    "Bapak bisa saya berbicara, di sini. Tapi nanti di rumah, bapak pasti melakukan hal yang sama lagi!" tolak Salsa keras.
    "Bapak berjanji, Nak. Sumpah demi Allah, bapak tidak lagi seperti dulu. Kini bapak sudah taubat. Kamu mau, kan, pulang bersama bapak? Kita kunjungi Nenek. Dia tengah sakit saat ini," bujuk Pak Lukman tak mau menyerah.
    Aku yang melihatnya hanya bisa diam. Kasihan Pak Lukman. Aku yakin, yakin sekali, dia pasti sudah taubat. Namun, Salsa tetap saja tak mau.
    "Bapak pintar sekali mengarang cerita," balas Salsa. "Pokoknya, Salsa tak mau lagi kembali! Salsa tak mau pulaang!" jerit Salsa.
    "Ya sudah, kalau kamu tak mau. Besok bapak akan kembali. Jika kau tetap tak mau, ya sudah, bapak akan pergi," ucap Pak Lukman, lalu segera pergi ....
    "Salsa, kau tak boleh begitu pada bapakmu! Kuyakin, beliau sudah bertaubay dengan sungguh-sungguh," ucapku begitu Pak Lukman pergi.
    "Kau tak pernah mengerti ...!" jerit Salsa.
    Salsa pun berjalan menghampiriku hingga aku terpojok di tiang yang menahan jembatan di atas. "Kau! Kau sungguh enak! Kau bisa sekolah, kau punya Ayah yang baik. Kau juga masih memiliki Ibu. Memiliki saudara-saudara yang selalu menemanimu. Kau itu kaya raya! Semua kebutuhanmu terpenuhi. Dan karena itu, kau tak pernah bisa mengerti aku ...! Kau tak pernah bisa mengerti perasaanku bagaimana malu dan kecewanya memiliki bapak seperti dia ...!" jerit Salsa sembari menangis deras.
    Kerah bajuku diangkat. Tangannya sudah mengepal, hendak menonjokku. Nafasku tak karuan. Jujur, aku merasa takut dan menyesal karena telah berbicara itu pada Salsa. Kini, aku harus menerima akibatnya.
    Saat tinggal berapa senti lagi kepalannya mengenai pipiku, Kiki dan Faldi datang, berusaha mencegah Salsa. Namun Salsa tak menyerah. Dengan tangan kanannya, sekuat tenaga ia menamparku.
    Taaak!
    Kupegang pipi kiriku. Auw ..! Rasanya sakit sekali. Aku ingin sekali membalasnya, tapi rasa sakit di pipiku menahannya. Rasanya sungguh sangat sakit.
    "Salsa!" bentak Kiki marah. "Kamu nggak boleh gitu sama Qelania! Dia benar! Kuyakin bapakmu sudah bertaubat dengan sungguh-sungguh!"
    "Kau membela Qelania karena kau suka dengan dia, kan? Qelania memang telah mengubah sikapmu! Kau menjadi cuek, dan sering mendiamkan kami semua, teman-temanmu! Dan kau selalu mendekati Qelania! Membelanya! Karena kau suka, kan? Iya, kan?" jerit Salsa kembali, suaranya habis karena saking marahnya.
    Aku melihatnya dengan tatapan tak percaya. Kiki? Suka padaku? Itu tak mungkin! Jelas tidak mungkin!
    "Dasar sok tahu!" Kiki mulai marah.
    Salsa pun menonjok pipi kiri Kiki. Tak mau kalah, Kiki pun menonjok balik pipi kanan Salsa. Dan mereka pun saling bertengkar. Ferdi dan Faldi serta Ridwan berusaha melerai mereka. Namun, mereka malah terkena tonjokan juga.
    Pusing denagn semua ini, aku pun berteriak, "Diam! Sudah cukup! Aku akan pergi, jika itu memang maunya Salsa. Maaf, jika aku telah menghancurkan persahabatan kalian!" ucapku, lalu segera pergi sembari terus memegangi pipiku.
    "Qelania! Jangan pergi!" teriak Kiki.
    Aku menoleh ke arah Kiki. Jujur, aku juga tak mau meninggalkan kolong jembatan. Tapi jika memang itu jalan terbaik, kenapa aku tak melakukannya? Aku pun langsung men-stop angkot dan segera pulang.

***

"Pulanglah, anak manja! Jangan pernah kembali lagi!" teriak Salsa.
    Kiki menoleh ke arah Salsa. Amarahnya sudah memuncak. Begitu tahu akan ada pertengkaran lagi, Faldi, Ferdi, dan Ridwan segera mengamankan Kiki. Sementara itu, Bila hanya menangis di pelukan Rara karena takut.
    "Liatin, Sal! Aku bakal balas dendam!" teriak Kiki.
    "Udah, Ki! Udah! Dia itu kalau marah memang suka begitu. Lagian kan dia cewek. Kenapa tadi kamu tonjok?" tanya Ridwan.
    "Habis dia ngeselin. Lihat! Sekarang, Qelania nggak bakal pernah balik lagi. Semua gara-gara dia!" jawab Kiki, nafasnya tak karuan.
    "Kenapa kamu ladenin, sih? Udahlah, aku yakin Qelania juga bakal balik lagi," balas Faldi.
    "Kalau nggak gimana?" tanya Kiki.
    "Kamu memang ngarepin Qelania, ya?' selidik Ferdi.
    "Ya, nggaklah!" jawab Kiki gugup.
    Ridwan hanya tersenyum melihatnya.
    "Udah, tuh, pipimu biru. Obatin sana!" suruh Ridwan.
    "Iyaa ..." balas Kiki malas.
   
***


    "Dasar sok tahu! Awas aja, Qelania! Aku nggak bakal maafin kamu," ucap Salsa dalam hati, amarahnya masih ada.
    Ditendangnya batu yang ada di depannya. Dia kesal, sangat kesal. Bukan hanya pada Qelania, tapi juga pada Kiki. "Kenapa sih, Kiki ngebela cewek kayak gitu terus? Jelas-jelas dia yang salah gara-gara nyinggung perasaanku!" omel Salsa tak henti-hentinya.
    "Aku nggak bakal mau kalau Qelania balik lagi ke kolong jembatan!" jerit Salsa dalam hati.
    "Dan aku, nggak bakal pernah pulang ke Serang," lanjut Salsa.

***

Sampai di rumah, aku langsung pergi ke kamar dan menangis. Rasanya aku ingin sekali menusuk perutku sendiri dengan anak panah atau pisau. Kenapa aku malah berkata begitu pada Salsa? Aku sungguh sangat menyesal.
    "Bodohnya aku!" jeritku pada diri sendiri.
    Aku pun menangis, lumayan lama. Sampai akhirnya aku tertidur ...

"Tuktuktuk!"
   Tahu-tahu, hari sudah menjelang sore. Ada seseorang yang mengetuk pintuku. Aku pun membukanya dan tampaklah Ridwan tengah berdiri di hadapanku sembari tersenyum. Namun tiba-tiba senyuman itu hilang.
    "Mata kamu merah, Qel," ucap Ridwan.
    Aku melihat ke arah cermin. Ya! Mataku memang merah. Aku pun langsung ke wastafel dan mecuci wajahku yang tampak kusut. Lalu, kuajak Ridwan mengobrol di taman.
    "Ada perlu apa kamu ke sini?" tanyaku seraya memerhatikan ikan-ikan di kolam.
    "Aku ke sini nggak ada keperluan yang serius, kok! Aku cuma mau lihat keadaan kamu. Sama mau kasih saran, mendingan kamu jangan dengar omongan Salsa. Dia bakal balik kayak dulu lagi, kok! Percaya, deh! Meskipun lumayan lama. Tapi aku yakin dia pasti bakal berubah," terang Ridwan.
    "Eum ... tolong sampaikan maafku buat dia, ya!" ucapku menunduk. "Jujur, aku merasa orang paling bodoh sedunia. Ngapain juga coba, aku bilang kayak gitusama Salsa? Aku memang bodoh!"
    "Kamu nggak bodoh. Kamu bener. Baju bapak Salsa sudah berubah. Dan kayaknya, dia memang sudah bertaubat. Ya, kita doakan saja semoga Salsa mau pulang ke Serang. Meski membawa kesedihan untuk yang lain, setidaknya kami senang karena Salsa dapat kembali tinggal bersama bapaknya," bantah Ridwan seraya tersenyum.
    Selanjutnya, kami pun terus mengobrol hingga tak sadar, malam hampir tiba. Ridwan pun pamit pulang.

***

Esoknya, di kolong jembatan ....
    Bapak Salsa memang menepati janjinya. Dia datang kembali, membawa tas besar, bersiap untuk membawa Salsa pulang. Dan jika Salsa tak mau, terpaksa ia harus pulang sendirian.
    "Nak, ayo pulang! Bapak sudah jauh-jauh kemari hanya demi menjemputmu," ajak Pak Lukman.
    "Coba aku lihat dulu, apa isi tas yang bapak bawa?" tanya Salsa.
    Sementara itu, Kiki yang sudah sembuh dari emosinya, bersiaga dengan Faldi dan Ferdi, takut kalau tiba-tiba ada sesuatu.
    Lalu, Pak Lukman pun membuka tas besarnya. Dan tampaklah baju-baju milik Pak Lukman serta beberapa milik Salsa, sebuah sarung, peci, dan sebuah al-qur'an. "Sudah cukup, Nak? Sekarang, bapak sudah benar-benar sadar. Tolong, ikut pulang bersama bapak ke Serang. Mau, ya?" bujuk Pak Lukman.
    Salsa menggeleng. Namun, Pak Lukman tetap tak menyerah. "Ayo, kita pulang! Kita kunjungi makam Ibu bersama-sama. Kita jaga Nenek seperti dulu bersama-sama!" ajak Pak Lukman.
    Salsa menggelng lemah. Pak Lukman pun berdiri di hadapan Salsa. Ukuran tubuhnya disesuaikan dengan ukuran tubuh Salsa. Dipegangnya kedua pundak Salsa. "Ya sudah, kalau kau tak mau. Bapak tak memaksa. Semoga kamu bahagia di sini, ya! Bapak pergi dulu, ya, Nak!" pamit Pak Lukman, lalu mencium kening Salsa, dan segera pergi.
    Baru 5 langkah Pak Lukman pergi, Salsa langsung berteriak, "Pak! Jangan pergi! Tunggu Salsa! Salsa mau ikut! Salsa kangen Nenek!" teriak Salsa.
    Pak Lukman menoleh ke belakang. Bibirnya tersenyum lebar. Lalu dia pun segera menerima pelukan dari Salsa. Kiki, Faldi, Ferdi, Rara, dan Bila yang melihatnya hanya bisa menahan tangis. Sebentar lagi, dia akan berpisah dengan Salsa. Namun, mereka juga senang karena Salsa akhirnya bisa hidup bahagia dengan bapaknya.
    "Teman-teman, aku pamit dulu, ya!" ucap Salsa. "Oya, jika Ridwan kemari, tolong sampaikan padanya, aku mau titip salam maaf untuk Qelania. Jujur, aku sangat menyesal. Dan Qelania sungguh benar. Tolong sampaikan, ya! Aku pergi dulu. Selamat tiggal!" seru Salsa.
    Begitu Salsa pergi, Rara pun berkata, "Aku tak pernah bermimpi memiliki teman se-tomboi dia. Namun aku juga tak pernah bermimpi akan kehilangan dia. Selamat tinggal, Salsa! Semoga kamu bahagia di sana," ucap Rara, lalu air matanya pun menetes.
    "Kak Rara jangan nangis ... Malu tahu!" hibur Bila.
    "Hahaha ..." Rara tertawa dalam tangisannya.
    Kiki, Faldi dan Ferdi sangat tahu betapa sedih hati Rara. Namun, Rara berusaha tegar. Dia tak mau Bila ikut-ikutan menangis.
    Tak lama, datanglah Ridwan dengan wajah khawatir begitu tahu Rara menangis. "Ada apa ini?" tanya Ridwan.
    "Salsa sudah pergi. Dia berpesan agar kau sampaikan pesannya pada Qelania. Dia bilang, dia minta maaf pada Qelania. Jujur, dia sangat menyesal. Dan Qelania sungguh benar," jawab Kiki.
    "Salsa ...? Pergi? Kapan?" tanya Ridwan.
    "Baru saja," jawab Ferdi.
    Ridwan pun hanya bisa terdiam. Dia terlambat. Terlambat untuk mengucapkan salam perpisahan pada Salsa.

***

Hari ini hari Senin. Hari ini sekolahku libur, karena ada rapat guru. Ingin sekali rasanya aku pergi ke kolong jembatan. Tapi rasanya, Salsa masih marah padaku. Dan keluargaku sangat sibuk sehingga tak ada yang dapat bermain denganku.
    Berusaha menghibur diri, aku pun menonton acara ajang pencarian bakat. Yah, meskipun hanya siaran ulang, tapi tak apalah. Tiba-tiba, bel rumahku berbunyi. Aku pun langsung berlari keluar, hendak melihat siapa yang bertamu?
    Kubuka pintu, dan tampaklah Ridwan dengan senyum mengembang di bibirnya. "Salsa sudah pulang bersama bapaknya! Dia menyuruhku untuk menyampaikan salam maaf padamu. Dia bilang, aku mau minta maaf sama Qelania. Jujur, aku sangat menyesal. Dan dia sungguh benar. Ya, setidaknya begitulah. Nah, karena itu ...." Ucapan Ridwan tak dilanjutkan.
    "Apa?" tanyaku penasaran.
    "Aku mengajakmu bermain di kolong jembatan! Mau, ya? Ayo, dong!" bujuk Ridwan.
    "Oke! Tunggu sebentar, aku ganti baju dulu. Masuklah!" seruku, lalu segera naik menuju kamar.
    Kubuka pintu lemari pakaianku. Oh .. aku sangat bahagia! Akhirnya Salsa pulang juga dengan bapaknya. Meskipun itu artinya tak ada lagi Salsa. Tapi ya, sudahlah. Mungkin dia akan senang di sana. Aku juga senang karena dapat kembali bermain ke kolong jembatan. Oh ... aku sangat tak sabar!

***

Sabtu, 11 Mei 2013

Warna Pelangi #bab11

Kembali

Siang hari, saat istirahat sekolah ...
    Aku dan Tina, yang sudah tak berurusan dengan perpustakaan lagi, duduk di meja nomor 5. Kami berdua kompak memesan bakso dan teh botol dingin. Itu memang menu favorit kami. Tak alam berlangsung, datanglah Ridwan. Tak biasanya dia datang dengan wajah serius.
    "Qel, kemarin aku ke kolong jembatan," cerita Ridwan. "Aku mengajak mereka main pesan rahasia. Dan aku sudah tahu masalahmu. Rara membencimu. Benar begitu?" tanya Ridwan.
    Aku pun mengangguk.
    "Kemarin, pengukir pertama adalah Bila. Kau tahu dia menulsi apa? Dia menulis Aku ingin Kak Qel! Itu tandanya Bila rindu kepadamu. Bukan hanya Bila, tapi semuanya. Kemarin kulihat semuanya menggunakan apa yang kamu beri. Kalung tengkorak, sandal, voucher, buku, dan gitar. Hanya Rara yang tak memakai pemberianmu. Wajahnya tampak merasa bersalah. Jadi ...." Ridwan tak melanjutkan perkataannya.
    "Jadi ...?" tanyaku penasaran.
    "Kamu mau, kan, baikan sama Rara dan datang ke kolong jembatan? Ini semua untuk Bila. Bukan hanya Bila, tapi juga semuanya," jawab Ridwan.
    "Eum ... aku pikir-pikir dulu, deh!" balasku.
    "Oya, Bila juga minta alamatmu," ucap Ridwan begitu ingat.
    "Ini ada apa, sih?" tanya Tina bingung.
    "Eum ... lain kali aku akan cerita," jawabku tersenyum.
    Lalu aku segera melanjutkan obrolanku dengan Ridwan, "Alamat? Baiklah, lain kali saja. Oya, gimana kalau kamu duluan ke kolong jembatan, nanti kalau ada waktu, aku bakal nyusul. Soalnya, hari ini rencananya aku bakal pergi ke mall sama Ibu," jawabku.
    "Eum .. aku nggak ngerti apa yang kalian bicarakan. Jadi, aku ke kelas saja, deh! Daah!" pamit Tina.
    "Nanti aku akan menyusulmu!" teriakku.
    "Oke, deh!" balas Ridwan, lalu ia pun segera pamit ke kelasnya.

***

Sepulang sekolah, aku langsung berganti baju. Lalu aku dan Ibu segera pergi ke mall. Kak Kanya dan Kak Nino tidak ikut karena masih bersekolah.
    "Bu, hari ini aku mau ke kolong jembatan, ngunjungi teman-teman waktu aku kabur. Boleh, ya?" ucapku meminta izin.
    "Boleh saja. Tapi diantar sama Ibu, ya! Jangan sendirian. Ibu takut kamu tertabrak," jawab Ibu.
    "Iya, Bu, tenang! Oya, kan, nggak enak, dong, kalau di sana cuma bawa tangan kosong. Jadi, aku mau sekalian beli brownies untuk mereka. Boleh, ya?" pintaku.
    "Iya, boleh saja. Oya, kapan-kapan, teman-temanmu itu ajak dong, ke rumah! Ibu juga kan, mau kenalan sekalian berterima kasih karena telah menemani kamu saat kabur," Ibu balik meminta.
    "Ya, nanti aku ajak, deh!" balasku.
    Saat sampai di mall, kami langsung menuju restoran. Di sana, kami makan dahulu. Lalu, setelah itu, kami pergi membeli baju. Barulah saat hendak pulang, kami membeli brownies. Sepulanh dari mall, aku langsung pergi ke kolong jembatan sembari pulang.
    Sampai di kolong jembatan, kulihat teman-teman, juga Ridwan, tengah melongo melihat ada sebuah mobil berhenti di depan mereka. Duh, aku jadi malu untuk turun. Dengan mengumpulkan keberanian, aku pun turun.
    "Ibu pulang dulu, ya! Daah!" pamit Ibu. "Telepon Ibu kalau hendak pulang!" pesan Ibu, lalu segera pergi.
    Aku tersenyum ke arah mereka. Tiba-tiba Bial memelukkudan berterialk kencang. "Kak Qel! Bila rindu ... sama Kak Qel!" teriaknya.
    "Iya, Kak Qel juga rindu. Maaf, ya, udah pergi tanpa pamit," ucapku.
    "Qelania," ucap Rara terisak. Lalu ia pun memelukku, "Maafkan aku, ya! Aku sudah membencimu. Jujur, aku menyesal. Dan jujur, aku itu nggak mau kamu dekat sama Kiki. Sampai aku sadar bahwa ternyata kamu baik, dan semua orang berhak untuk berteman denagn siapa saja. Maafin aku! Kuhomon maafkan aku. Aku akan melakukan apa saja untukmu," tangis Rara.
    "Ah, tidak usah! Aku sudah memaafkanmu, kok!: balasku.
    Kulihat ke arah yang lain. Mereka semua melongo, tak mengerti apa yang dimaksud kata 'Minta maaf'. Kami berdua yang melihatnya pun hanya tersenyum.
    Tiba-tiba kuingat sesuatu. Brownies! Aku pun langsung menunjukkan 2 kotak brownies yang tadi kubeli. Lalu kuberikan pada mereka. "Ayo, dimakan. Nggak usah malu-malu," ucapku.
    "Asik! Kak Qel bawa makanan!" seru Bila senang, lalu segera mengambil satu. "Kak Faldi nggak makan? Perutnya entar jadi kecil, lho!"
    Semua pun tertawa mendengar ucapan Bila. Aku senang sekali. Dapat kembali ke kolong jembatan. Bukan hanya kembali bertemu teman-teman, tapi juga kembali membuat mereka tertawa. Rasanya senang sekali melihat mereka dapat tersenyum. Andaikan aku daoat terus bersama mereka ....

***

Jumat, 10 Mei 2013

Warna Pelangi #bab10

Kanan Pohon

    Esoknya, begitu bis sekolah datang, aku langsung menaikinya dan duduk di samping Ridwan. Ridwan tersenyum ke arahku. Aku pun membalas senyumannya. "Bagaimana kemarin?" tanyaku tak sabar.
    "Sudah aku sampaikan! Mereka semua senang, apalagi Faldi. Tapi, ada juga yang menurutku hanya 'pura-pura' senang. Rara. Saat aku melihatnya, dia tersenyum kecut. Saat ia sendirian, kulihat ia sedih. Seperti merasa bersalah. Lalu juga Kiki, dia minta alamatmu. Tapi tak kuberi, karena aku belum dapat izin darimu. Oya, sebenarnya ada apa, sih, dengan Rara? Kok, dia tampak merasa bersalah? Siapa tahu ada sangkut-pautnya denganmu," jelas Ridwan.
    "Rara? Eum ... aku tak bisa jelaskan semuanya. Kau tahu permainan Surat Rahasia? Nah, di pohon yang biasa teman-temanmu pakai. Di sanalah jawabannya. Ada di bagian kanan pohon. Karena itulah, aku berniat untuk pulang dan tak bertemu lagi dengan mereka, karena kupikir Rara merasa tak nyaman jika aku ada di sana," jawabku menunduk.
    "Kanan pohon?" tanya Ridwan.
    "Iya. Di bagian kanan pohon," jawabku.
    Kulihat ke arah Ridwan. Dia tengah termenung. Sepertinya ia berkata dalam hatinya. Kanan pohon ... kanan pohon .. ya! Aku harus temukan ...
    "Ya, sudah sampai! Silakan turun! Jangan berdesakan!" seru Pak Supir.
    Seperti biasa, kami turun lewat pintu belakang. Dia lapangan, kami pun berpamitan. Aku ke arah kanan, Ridwan ke arah kiri. Dan seperti biasa,  aku duduk di sebelah Tina.
    "Qel, hari ini aku nggak bisa ke kantin. Aku ada urusan di perpustakaan lagi. Kemarin itu buku IPA yang aku ambil salah. Padahal udah capek-capek nyari. Nggak taunya salah," omel Tina. "Kamu nggak apa-apa, kan, nggak aku temani ke kantin kayak kemarin?"
    "Ya tentu nggak apa-apa, dong!" jawabku tersenyum.

***

Pulang sekolah, Ridwan segera pulang, berganti baju dan langsung ke kolong jembatan. Dengan hati-hati ia menyebrang di zebra cross. Sampai di kolong jembatan, ia melihat hanya ada Bila di sana.
    "Kakak kemana?" tanya Ridwan, menanyakan Kiki.
    "Kak Kiki lagi ngamen," jawab Bila lemas.
    "Kok lemas gitu? Semangat, dong! Kan, kemarin dapat sandal baru," hibur Ridwan.
    "Bosen soalnya. Nggak ada temen," balas Bila. "Coba ada Kak Qel. Bila kan, nggak kesepian."
    "Rindu Kak Qel, ya?" tebak Ridwan.
    Bila mengangguk. "Anterin Bila ke rumahnya dong!" pinta Bila.
    "Nanti, deh, Kak Ridwan bilang dulu sama Kak Qel, ya!" balas Ridwan simpati.
    "Iya," ucap Bila singkat.
    Tak lama, datanglah Kiki dkk. Mereka habis mengamen. Dilihatnya Kiki menggenggam gitar barunya. Dia mengamen dengan gitar barunya. Lalu dilihat Salsa memakai kalungnya. Ferdi tengah membaca Harry Potternya, dan Faldi asyik dengan ikannya. Hanya Rara yang tak terlihat memakai kalungnya.
    Benar-benar ada masalah, nih! Duuh, jadi pingin cepat-cepat!
    "Eh, main pesan rahasia, yuk!" ajak Ridwan.
    "Ayuk! Bila udah bosen daritadi. Pingin main!" ucap Bila setuju.
    Akhirnya, semua pun setuju. Mereka pun ber-hompimpa. Dan, terpilihlah Bila menjadi pengukirnya. Semua pun menutup mata. Bila langsung mengukir pesan rahasianya.
    "Sudah!" seru Bila.
    Semua pun langsung menyerbu pohon. Ridwan langsung menuju bagian kanan pohon. Dan dia melihat ada gambar di sana. Kini, Ridwan pun tahu apa masalahnya. Tiba-tiba, Salsa berseru. "Aku menemukan pesan rahasianya! Pesannya Aku ingin Kak Qel!" seru Salsa.
    Semua melongok ke arah Bila. Semua tahu, Bila sangat merindukan Qelania. Ridwan yang melihatnya menjadi terharu. Ia pun bertekad akan menemui Qelania besok dan memberitahu semuanya! Tentang Bila yang rindu padanya, tentang teman-teman yang menggunakan pemberiannya, kecuali Rara, lalu tentang dia saat berhasil menemukan pesan rahasia Rara ....

Warna Pelangi #bab9

Titipan

Sepulang sekolah, aku langsung masuk ke gudang. Aku mencari sebuah kotak. Kotak kayu berukuran besar dengan ukiran bunga di setiap sisinya. Kisingkirkan barang-barang tak berguna lainnya. Nmaun tetap saja aku tak menemukannya.
    Tiba-tiba, aku merasa ada yang menyentuh kakiku. Kulihat ke arah bawah.
    "Huwa ...! Tikus ...!" jeritku, lalu segera meninggalkan gudang.
    "Kamu kenapa, Dek?" tanya Kak Kanya bingung.
    "Itu, di gudang ada tikus," jawabku.
    "Hah? Di gudang? Ngapain kamu ke gudang?" tanya Kak Kanya heran.
    "Mau cari kotak kayu yang ada ukiran bunganya itu, lho, Kak! Kakak lihat, tidak?" aku balik bertanya.
    "Lihat. Tapi sudah kakak kasih ke teman kakak sebagai hadiah perpisahan. Ada juga yang ukurannya kecil. Mau?" tawar Kak Kanya.
    "Eum ... boleh, deh!" jawabku.
    Kak Kanya pun masuk ke kamarnya, lalu kembali lagi dengan membawa kotak kayu berukir, namun ukurannya lebih kecil. "Terima kasih," ucapku, lalu segera pergi ke kamar.
    Di kamar ...
    "Hm ... Ferdi suka buku, aku kasih saja buku Harry Potter. Kan tebal, tuh! Jadi bisa lama dibacanya," ucapku, lalu segera mengambil buku Harry Potter di rak buku milikku.
    "Faldi suka makanan. Aku kasih apa, ya? Kalau aku kasih makanan, ntar bisa basi," pikirku bingung.
    Akhirnya kuacak-acak laci meja belajarku. Dan kutemukan voucher makan di Restoran Ikan. Batas penukaran vouchernya hingga lusa. Lalu, kuambil kalung tengkorak untuk Salsa, kalung berbandul kristal (mainan) untuk Rara, sandal bekas (tetapi masih bagus) untuk Bila. Dan, aku tak tahu apa yang ahrus kuberi untuk Kiki. Aku tak tahu apa kesukaannya. Akhirnya, kuambil saja gitar kecil untuknya.
    Lalu, kutata rapi semua itu di dalam kotak kayu. Sebisa mungkin untuk menyimpan semuanya. Hingga akhirnya, selesai juga! Tinggal kutulis surat yang berisi:

    Untuk teman-temanku di kolong jembatan
    Hai! Aku rindu kalian. Bagaimana keadaan kalian? Semoga baik-baik saja, sama sepertiku! Oya, aku ingin memberikan ini untuk kalian. Semoga kalian suka, ya! Maaf, aku tak bisa datang dan hanya bisa menitipkannya pada Ridwan. Oya, kuharap kalian mau memaafkan Ridwan.
    Harry Potter untuk Ferdi. Voucher ke Restoran Ikan untuk Faldi. Kalung tengkorak untuk Salsa. Kalung berbandul kristal untuk Rara, sandal untuk Bila, dan gitar kecil untuk Kiki. Maaf, aku hanya bisa memberikan gitar. Soalnya aku tak tahu apa kesukaanmu.
    Semoga kalian suka, ya! 
Salam, Qelania

    Usai menulis surat, kumasukkan surat itu ke dalam kotak. Lalu, aku segera pergi, hendak makan siang. Dan kutinggalkan kotak itu di kamar ...

***

Ting tong!
    Bel rumahku berbunyi. Aku langsung membukanya. Rupanya Ridwan yang datang.
    "Ayo, masuk dulu! Aku mau ambil barangnya dulu!" ucapku.
    "Ah, tidak usah. Aku tunggu saja di sini," balas Ridwan.
    "Oh, kalau begitu baiklah. Tunggu, ya!" ucapku.
    Aku pun segera naik ke kamar. Lalu mengambil kotak kayu dan kembali lagi. "Ini, jangan dibuka, ya! Oya, aku juga ingin memberikan sesuatu." ucapku.
    Kuambil coklat di kulkas. Lalu kuberikan pada Ridwan. "Ini, untuk bayaranmu." 
    Kami pun tertawa. "Terima kasih. Ya sudah, aku pergi dulu, ya!" pamit Ridwan.
    "Titip salam untuk semuanya!" seruku.
    "Ok!" balas Ridwan lalu segera pergi.
***


Warna Pelangi #bab8

Ridwan

Pagi ini, aku bangun lebih pagi dari biasanya. Kumasukkan buku-buku pelajaran ke tasku, lalu kupakai seragamku dan tak lupa, jilbab! Setelah mengecek ulang dan tak ada yang tertinggal, aku pun turun menuju meja makan.
    "Selamat pagi ..!" sapa Ibu seraya menuangkan susu di gelas milikku.
    "Selamat pagi juga!" balasku.
    Kini, aku merasa lebih baik dari biasanya. Sudah kulupakan tentang teman-teman di kolong jembatan. Kini, aku bertekad tak akan mengecewakan keluargaku lagi dengan kabur dari rumah seperti waktu itu.
    Kutarik piring berwarna putih milikku. Lalu kuisi dengan nasi, tempe dan tahu. Meskipun bisa dibilang aku orang berkecukupan, tapi soal makanan aku lebih senang makanan tradisional. Kumakan tempe dan tahu dengan lahap.
    Usai makana, kuminum susuku, lalu segera pamit pada Ayah dan Ibu karena bis sekolahku sudah datang.
    "Assalamu'alikum .." ucapku, lalu segera pergi.
    "Wa'alaikumsalam ..." jawab Ayah dan Ibu.
    Begitu masuk bis, rupanya seluruh kursi sudah penuh. Hanya tinggal satu kursi lagi. Kata teman-teman, dia anak baru. Seragamnya lusuh seperti seragam bekas, wajahnya kucel tampak seperti orang tak berada, dan dia masuk ke sekolahku karena dapat beasiswa.
    Tak ada pilihan lain, aku pun duduk di sampingnya. Wajahnya menghadap ke jendela, berusaha untuk menutupi diri. Seragamnya memang lusuh. Dan dia, seorang laki-laki.
    Kucoba menyapanya, "Hai!"
    Anak itu tetap menghadap ke jendela. Berpura-pura tak mendengar sapaanku. Kulihat ke arah rambutnya. Tiba-tiba, aku ingat sesuatu. Aku ingat, bahwa aku pernah melihat rambut seperti ini. Aku ingat! Ya, ingat! Dia adalah ...
    "Ridwan ..." ucapku.
    Ridwan menoleh ke arahku tengah heran. Mungkin dia berkata dalam hatinya, Kok, dia tahu namaku? Seketika, dia diam seribu bahasa begitu melihatku.
    "Ka ... kau ... bukannya kau ..." ucapan Ridwan terputus.
    "Ya, aku memang anak jalanan yang kemarin kau temui. Sebenarnya aku bukan anak jalanan, aku kabur dari rumah dan tinggal di kolong jembatan bersama teman-temanmu. Namun, ada suatu kejadian yang membuatku berpikir untuk kembali pulang," potongku.
    "Ba ... bagaimana bisa? Ka ... kau pasti bohong! Ka ... kau sama kan, sepertiku? Masuk melalui beasiswa?" tanya Ridwan kaget.
    Aku tak tahu harus menjelaskan apa pada Ridwan. Namun segera kuambil kartu siswa milikku. Ya! Semua anak di sekolahku harus mempunyai kartu siswa yang berisi nama, kelas, no. hp, dan jabatan. Kuperlihatkan kartu siswaku pada Ridwan.
    Qelania Britany
    6-C
    089856
    Pelukis mading sekolah

    "Pe .. lukis? Qelania? Yang terkenal di sekolah itu?" tanya Ridwan, luar biasa kaget.
    "Eum ... aku tak tahu apa aku terkenal atau tidak. Tapi, ya, namaku memang Qelania," jawabku.
    Tiba-tiba Ridwan memegang tanganku dan berkata, "Maaf, ya, aku telah meledekmu waktu itu."
    Aku tersenyum ke arahnya. "Iya, tak apa-apa, kok!" balasku.
    Ridwan membalas senyumanku. Senyumannya indah, mirip seperti Kiki. Ah, tiba-tiba aku ingat pada Kiki, Rara, Salsa, Faldi, dan Ferdi. Bagaimana, ya, keadaan mereka sekarang?
    "Ya, kita sudah sampai!" seru Pak supir.
    Aku dan Ridwan pun keluar dari bis melalui pintu belakang. Begitu turun, aku langsung bertanya padanya, "Kamu kelas berapa?"
    "6-D. Kamu?" Ridwan balik bertanya.
    "6-C," jawabku. "Sudah, ya, aku ke kelas dulu. Sampai bertemu istirahat nanti!" pamitku.
    Aku pun langsung memasuki kelasku. Aku menyimpan tasku di samping bangku Tina, sahabatku sejak kelas 1.
    "Qel, denger-denger, kamu kabur dari rumah, ya? Kenapa? Cerita, dong, sama aku!" pinta Tina.
    "Duuh ... ceritanya panjang.  Kapan-kapan saja, deh! Tuh, bu guru udah masuk!" tunjukku.
    "Yaah ... oke, deh!" balas Tina.
   
***

Istirahat pun tiba. Aku langsung pergi ke kantin. Sedangkan Tina, katanya dia hendak mencari buku IPA di pepustakaan karena ia kekurangan bahan untuk tugas IPA nanti.
    "Mbak, pesan bakso 2000, jangan pakai seledri dan bawang, pake lada dan kecap, jangan pake saus. Minumannya teh botol yang dingin," ucapku.
    "Ya, silakan tunggu," balas Mbak penjaga kantin.
    Kulihat ada Ridwan tengah makan sate ayam di meja nomor 7. Aku pun mendekatinya. "Aku duduk di sini, ya?"
    Begitu aku duduk, Ridwan langsung menawariku. "Mau sate ayam?" tawarnya.
    Aku menggeleng. "Nggak, terima kasih. Oya, aku mau ngomong sesuatu sama kamu."
    "Ngomong apa?" tanya Ridwan seraya meminum coca-cola.
    "Itu, lho! Soal Kiki sama teman-temannya. Kamu kok, tiba-tiba musuhin mereka? Emang apa salah mereka?" tanyaku langsung.
    "Eum ... sebenarnya aku sudah cukup lama memendam ini semua. Jadi begini, sebenarnya aku sangat ingin bermain dengan mereka. Hanya saja, Ibu melarangku. Bukan karena mereka miskin, tapi Ibu khawatir jika aku tertabrak kendaraan," jelas Ridwan.
    "Lah, kenapa kamu nggak ngomong yang sebenarnya?" tanyaku heran.
    "Soalnya aku takut dibilang cemen karena takut berkeliaran di jalan raya seperti mereka. Jadi, deh, aku menghina mereka. Sebenarnya aku ingin minta maaf, tapi .... aku nggak berani dan malu karena sudah menghina mereka," jawab Ridwan.
    "Kamu kenapa takut dibilang cemen? Aku yakin, mereka pasti ngerti, kok!" ucapku.
    Tiba-tiba bakso dan teh botolku pun datang. Aku langsung membayar semuanya. Sembari makan, aku terus berbincang-bincang dengan Ridwan.
    "Kalau ternyata mereka meledek, gimana? Apalagi Salsa ..." ucap Ridwan.
    "Salsa. Ya, dia memang anak tomboi. Tapi, bukankah Kiki dan Rara anak yang baik? Jadi jika kamu diledek, tenang, masih ada yang membelamu. Nah, gimana kalau hari ini kamu ke kolong jemabatan, terus minta maaf sama mereka?" usulku.
    "Eum ...."
    "Ayolah. Mau, ya? Aku nggak mau kamu terus bertengkar dengan mereka," mohonku.
    "Ya, sudah. Oke, deh!" balas Ridwan.
    "Yes! Oya, sebelum pergi, kamu ke rumah aku dulu, ya! Aku mau nitip sesuatu sama kamu. Ini alamat rumahku," pintaku, lalu segera memberikan alamat rumahku.
    "Memangnya mau nitip apa?" tanya Ridwan.
    "Rahasia. Mau tahu aja, deeh!" jawabku.
    "Huuh, ya sudah ..." Ridwan pun akhirnya pasrah.

***

    

Warna Pelangi #bab7

Bahagia dan Kesedihan

Pukul 08.00 pagi
    Kakiku serasa ingin copot. Aku telah berjalan jauh dari kolong jembatan hingga ke rumah. Sampai di rumah, Ibu langsung memelukku dan menangis keras. Kutahu, beliau pasti mengkhawatirkanku.
    "Kamu darimana saja, Nak?" tanya Ibu seraya mengecup keningku.
    "Maaf Bu, aku nggak bisa cerita sekarang. Kakiku rasanya mau copot. Capek banget. Aku mau tidur dulu, ya ..." jawabku.
    "Ah, iya. Lebih baik kamu beristirahat saja. Nanti siang kita bicara, ya ..." ucap Ibu, lalu menuntunku menuju kamar.
    Sampai di kamar, aku langsung menjatuhkan diri ke kasur dan langsung terlelap.

***

Sementara itu di kolong jembatan ....
    "Aku punya kabar buruk," ucap Kiki.
    "Apa?" tanya Salsa penasaran.
    "Ini," jawab Kiki seraya memberikan surat yang ditulis Qelania tadi malam.
    Faldi, Ferdi, Salsa, dan Rara, langsung mengerubungi Kiki. Mereka membaca surat itu bersama-sama. Seketika, Rara terdiam. Hatinya berkecamuk. Ada perasaan senang karena Qelania telah pergi, namun ada juga perasaan sedih karena harus kehilangan Qelania.
    "Jujur, aku berharap dia mau tinggal di sini selamanya. Aku menyukai bagaimana caranya bersikap ramah. Dia juga tak pernah protes dengan apa yang kuberi. Meskipun aku tahu, dia adalah anak yang berada," terang Kiki terisak.
    Tak disangka, air mata Kiki tiba-tiba mengalir. Dia, anak laki-laki yang paling tegar dari semua temannya, tiba-tiba menangis hanya karena Qelania?
    "Kamu harus sabar, Ki ..." hibur Faldi dan Ferdi.
    "Lihat, di sini dikatakan Qel akan kembali lagi. Sabarlah menunggunya," saran Salsa.
    Sementara itu, Rara diam tak percaya. Kiki, anak laki-laki paling tegar yang pernah dikenalnya, menangis hanya karena Qelania. Itu tandanya, Kiki sangat bergantung pada Qelania. Jika Qelania pergi, maka ia akan rapuh. Jika Qelania di sampingnya, maka ia akan kuat. Seperti saat menghadapi Ridwan.
    "Sudah, lebih baik kita lupakan Qelania. Mungkin dia sudah bosan dengan kita. Mungkin dia lebih nyaman di rumahnya daripada di sini. Lebih baik, kita mengamen saja. Kemarin kan, kita hanya bermain terus. Ayo!" ajak Rara.
    Semua pun setuju. Dengan enggan, Kiki bernyanyi ke sana-kemari demi mencari uang yang tak banyak. dalam hati, Kiki berkata, Kenapa kamu meninggalkan kami? Apa salah kami? Apa kamu merasa tak nyaman denga kami?

***

Siang telah tiba. Aku bangun dengan keadaan yang lebih segar. Usai mandi, aku langsung duduk di teras, hendak berbincang-bincang dengan Ibu.
    "Kamu ini sebenarnya kemana saja?" tanya Ibu seraya menyimpan 2 cangkir teh dan setoples kue kering di meja.
    "Qel kabur, ke kolong jembatan yang di jalan besar itu, lho, Bu. Yang banyak pengamen ciliknya. Soalnya Qel nggak mau orang tua Qel bertengkar hanya karena masalah sepele," jawabku.
    "Terus, kamu gimana hidup di sana?" tanya Ibu.
    "Seru, Bu. Banyak pengalaman yang seru di sana bareng Salsa, Faldi, Ferdi, Kiki, dan ... Rara," jawabku melemah.
    "Siapa mereka?" tanya Ibu.
    "Pengamen cilik, Bu. Mereka tidak sekolah. Kasihan sekali. Andai Qel bisa bantu mereka ..." jawabku bergumam.
    "Kamu ada-ada saja. Terus, kenapa kamu pulang? Bukannya Ibu nggak mengharapkan kamu pulang. Sebenarnya, Ibu sangat ingin kamu pulang. Tapi biasanya kan, kamu ngotot sama pendirian kamu. Kenapa tiba-tiba kamu memutuskan untuk pulang?" tanya Ibu.
    "Qel ada masalah sama salah satu pengamen itu, Bu. Dia membenci Qel karena Qel sudah merebut sahabt dekatnya. Qel nggak punya tempat tinggal. Jadi, Qel memutuskan untuk pulang saja," jawabku jujur.
    "Oya, Ibu mau bicara sesuatu sama kamu," ucap Ibu, tampak serius.
    "Apa?" tanyaku.
    "Kakekmu, Kakek Willy menderita buta warna. Dia menurunkan penyakitnya itu padamu. Kmau mau kan, memaafkan Kakek? Jujur, Kakek yang mendengar berita kami menderita penyakit buta warna pun sedih dan menyalahkan dirinya sendiri. Kau tahu mengapa Ibu dan Ayah bertengkar? Itu karena Ayah terus menyalahkan Kakek. Ibu tak terima itu," jelas Ibu.
    "Tentu Qel akan memaafkan Kakek. Bagaimana pun, aku tetap sayang Kakek," jawabku.
    "Oya, Ayah, Kak Kanya, Kak Nino kemana?" tanyaku begitu tersadar rumah sangat sepi.
    "Mereka mencarimu sampai ke Jakarta. Ibu sudah bilang bahwa kamu ada di sini. Mereka senang sekali dan saat ini tengah dalam perjalanan," jawab Ibu. "Awalnya Ibu ingin ikut, tapi tak boleh karena Ibu tengah sakit batuk."
    "Hm ..." Aku hanya bergumam.
    "Maaf, ya, karena IBu dan Ayah, kamu jadi pergi. Jujur, kami berdua sangat menyesal. Dan sekarang, kami berjanji tak akan bertengkar lagi," lanjut Ibu.
    Senyumku pun mengambang...
    "Tidiit!"
    Suara klakson mobil terdengar. Aku langsung berlari menuju mobil Ayah. Kupeluk Ayah, Kak Kanya, Kak Nino, secara bergantian. Mereka sangat merindukanku. Kebahagiaan terpancar di rumah ini. Namun, apakah kebahagiaan juga terpancar di kolong jembatan?

Warna Pelangi #bab6

Pulang dan Pergi

Usai berenang, kami segera pulang. Sampai di rumah Kiki, aku langsung tidur di atas buku. Begitupula Bila. Di dalam tidurku, aku bermimpi sesuatu. Sesuatu yang buruk. Aku melihat Rara pergi menjauh dariku. Senyumnya mengembang. Langkahnya cepat. Dan tiba-tiab dia menghilang.
    "A ...!" Aku menjerit keras.
    "Kak Qel kenapa? Dibanjur aja kok, teriak?" tanya Bila.
    "Eh ... nggak apa-apa, kok! Kmau udah bangun? Kok, cepat banget?" tanyaku heran.
    Kiki tertawa seraya menyodorkan piring berisi bayam kepadaku, "Ini udah malam, Qel. Kamu tidur lama sekali. Sudah, nih, makanan untukmu. Harus habis, ya!" ucap Kiki.
    Aku mengangguk. Lalu segera memakan bayam yang ada dihadapanku. Jujur, aku sangat tidak menyukai sayur. Rasanya aku ingin membuang bayam itu. Melihatnya saja aku sudah muak. Tapi, aku juga tak mungkin menolak pemberian Kiki.
    Kumakan bayam itu dengan enggan. Akhirnya, bayam itu habis juga. Usai makan, Ibu Kiki pulang. Beliau langsung makan karena lapar sekali. Sementara Ibu Kiki makan, aku, Bila, dan Kiki pergi keluar untuk bermain.
    Udara malam hari memang dingin. Namun semua itu terbayar saat melihat lampu-lampu mobil-motor yang tampak membentuk sebuah bunga. Indah sekali.
    Malam ini, kami akan bermain Pesan Rahasia. Begini cara mainnya. Jadi, kita harus mencari apa saja yang berbau tajam dan bisa untuk mengukir sebuah pesan di pohon besar yang ada di sebrang jalan. Sebelumnya, kami menentukan dulu siapa yang akan mengukir. Setelah dapat, sang pengukir harus menulis pesan rahasia di bagian pohon mana saja. Sedangkan yang lainnya menutup mata. Siapa yang pertama menemukan, dia akan menjadi pengukir selanjutnya. Begitu seterusnya.
    Kami pun segera ber-hompimpa untuk menentukan siapa yang menjadi pengukir. Akhirnya, terpilihlah Rara sebagai pengukir pertama. Aku dan yang lainnya, kecuali Rara tentu saja, menutup mata sembari menunggu Rara selesai menulis pesan rahasia.
    "Selesai!" seru Rara.
    Kami pun langsung menyerbu pohon. Mencari-cari dimana tulisan itu. Kulihat ke arah Rara. Wajahnya tampak tegang dan panik. Dia seperti tengah mengucapkan sebuah doa. Aku pun berusaha melupakannya dan kembali fokus untuk mencari pesan rahasia.
    Tiba-tiba aku melihat sebuah gambar di bagian pohon sebelah kanan. Gambar pertama adalah wanita yang di bawahnya diberi nama Rara. Lalu disebelahnya laki-laki yang diberi nama Kiki. Kemudian gambar panah -> dan ada gambar wanita bernama Qelania. Lalu tanda panah kembali -> dan gambarnya berubah menjadi Rara, aku, dan Kiki. Kulihat ada ukiran X pada tubuhku. Lalu di bawahnya tertulis: "Aku benci Qelania. Dia telah merebut Kiki dariku."
    Tiba-tiba aku terpaku. Mungkin itulah alasan mengapa Rara tadi menangis di sungai saat aku dekat dengan Kiki. Dia cemburu. Marah. Karena aku telah merebut Kiki darinya. Tiba-tiba aku ingin menitikkan air mata. Namun segera kuusap air mataku.
    Tak lama, Faldi berkata, "Hei! Aku menemukannya! Pesan rahasianya adalah ... Kanan Pohon. Benar, kan,  Rara?" tanya Faldi.
    Rara menghembuskan nafas lega, kemudian tersenyum. "Iya, kamu benar!"
    "Tapi apa maksudnya Kanan Pohon?" tanya Salsa.
    "Aku hanya ... ngasal," jawab Rara.
    Aku melihat ke arah Rara. Jelas sekali dia berbohong. Kanan Pohon itu artinya ada misteri di pohon bagian kanan. Mungkin Rara tak mau bermain denganku. Dia juga tak mau aku ada di sini. Mungkin lebih baik aku pergi saja. Aku juga sudah terlalu banyak merepotkan Kiki, ucapku dalam hati.

***

Pukul 04.00 

    Aku terbangun dari tidurku. Aku sudah merencanakan akan pulang. Kusobek halaman tenga-tengah salah satu buku Kiki. Lalu kutulis sesuatu di sana.

    Untuk semuanya,
    Maaf, aku harus pulang. Maaf juga aku pergi begitu cepat. Aku janji akan kembali, tapi tak sekarang, besok, atau lusa. Terima kasih untuk pengalamannya yang begitu menyenangkan. Aku tak tahu harus berkata apa pada kalian.
    Untuk Kiki, terima kasih untuk tumpangan, makanan, dan pengalamannya. Untuk Rara, maaf atas semua kesalahanku. Aku harap kamu mau memaafkanku. Untuk Salsa, kamu harus tabah, ya! Aku yakin, Bapakmu pasti akan berubah :D Untuk Faldi dan Ferdi, aku tak tahu harus berbuat apa. Tapi aku do'akan agar kalian sukses selalu. Begitu juga dengan Kiki, Rara, dan Salsa.
    Dan maaf untuk Kiki karena telah menyobek halam tengah bukumu.
Salam, Qelania

Kusimpan surat itu di atas meja. Lalu aku segera pergi, pulang menuju rumah. Aku pulang dengan berjalan kaki. Berharap jalan akan semakin pendek, agar aku bisa sampi ke rumah ....
    

Kamis, 09 Mei 2013

Warna Pelangi #bab5

Cita-cita

Aku segera keluar dari sungai dan duduk di batu besar sembari mengeringkan pakaianku. Aku sudah lelah. Mataku sudah merah menahan kantuk. Aku memang sering mengantuk jika habis berenang.
    Kulipat kakiku, lalu kubenamkan kepalaku di atas kakiku. Aku pun mulai mencoba untuk tidur. Namun tiba-tiba, seseorang mencolek tanganku. Kuangkat kepalaku dan kulihat ke arah kanan. Rupanya Kiki yang mencolek tanganku.
    "Ada apa?" tanyaku sembari menguap.
    "Nggak. Maaf, aku udah ganggu kamu, ya? Soalnya aku kira kamu tidur," jawab Kiki.
    Memang kenyataannya aku tidur, ucapku dalam hati.
    "Matamu merah. Kamu ngantuk, ya? Ya sudah, ayo, kita pulang saja!" ajak Kiki.
    Aku menggeleng, meskipun rasanya berat sekali. "Nggak, ah! Mataku mungkin cuma kelilipan. Lagian, yang lain juga kan lagi seru-seru berenang, masa diajak pulang tiba-tiba?" tolakku.
    "Ya sudah, terserah kamu saja. Oya, kamu kok, udahan berenangnya?" tanya Kiki seraya menyilang kakinya.
    "Males aja," jawabku.
    "Bener?" tanya Kiki.
    Aku menoleh ke arah Kiki. "Benerlah."
    Tak lama, aku ingat akan pesan Rara padaku. Aku pun segera bertanya pada Kiki. "Ki, cita-citamu jadi apa?" tanyaku.
    "Aku? Cita-citaku ingin membahagiakan Ibu, ingin jadi orang yang sukses, dan aku pingin punya anak yang juga akan sukses," jawab Kiki.
    "Kamu masih kecil, kok, sudah mikirin soal anak?" tanyaku heran.
    "Biarin saja. Wee ..!" Kiki menjulurkan lidahnya.
    "Oya, kalau cita-citamu, apa?" tanya Kiki.
    Seketika, jantungku serasa berhenti berdetak. Aku menundukkan kepalaku. Tiba-tiba, surat dokter, Ayah, Ibu, semuanya, muncul di pikiranku.
    "Kenapa?" tanya Kiki, membuyarkan lamunanku.
    "Eh, nggak apa-apa, kok! Tadi kamu tanya cita-cita aku, ya?" tanyaku salah tingkah.
    "Aku tanya, cita-citamu jadi apa? Kamu kenapa, sih? Kok, tiba-tiba kayak konslet gitu?" Kiki balik bertanya.
    "Ah, tidak apa-apa, kok!" jawabku berbohong.
    Aku pun menarik nafas, menghitung sampai lima, lalu menghembuskannya. Dan aku pun kembali seperti semula. "Eum ... cita-citaku jadi seorang pelukis terkenal," jawabku.
    "Kamu bisa melukis?" tanya Kiki.
    "Melukis adalah hidupku," jawabku mantap.
    "Waah, hebat! Aku saja tidak bisa melukis," puji Kiki.
    "Ah, bisa saja ..." Pipiku merona merah.
    Sementara itu, Rara menarik nafasnya, lalu menghembuskannya. Dia berusaha untuk tetap tenang. Nmaun tiba-tiba air matanya mengalir...
 

Rabu, 08 Mei 2013

Warna Pelangi #bab4

Pesan dan Janji

"Dasar anak miskin!" hardik Ridwan, lalu ia pun segera pergi.
    "Ki, sabar, ya ..." ucap Rara.
    Kami semua pun segera mengelilingi Kiki. Tangannya yang tadi terekepal, akhirnya pun lurus kembali. Kakinya sudah normal. Dan wajahnya sudah kembali sama seperti semula.
    "Kamu nggak apa-apa, kan, Qelania?" tanya Kiki, tampak khawatir.
    "Nggak, aku nggak apa-apa," jawabku.
    "Sudah, yuk! Daripada main bola, mendingan kita mengamen!" seru Faldi seraya memetik senar-senar di gitar miliknya.
    "Yuk, kita ke jalan!" balas Kiki.
    Tiba-tiba Bila datang kepadaku. Aku pun langsung menggendongnya.
    "Kamu dan Bila di rumah saja. Bahaya kalau ke jalan besar. Kamu kan, belum biasa," saran Kiki.
    "Iya. Kamu di rumah Kiki aja sama Bila," lanjut Salsa.
    Sembari merengek, Bila berkata, "Mau ikut ...."
    "Bila kan masih kecil. Sama Kak Qel aja, ya!" ucap Kiki.
    "Iya. Udah, kita di rumah aja, ya, Bila. Nanti kita main bola berdua aja, ya?" bujukku, walaupun sebenarnya aku ingin ikut dengan Kiki dan teman-temannya.
    "Nggak seru ..." keluh Bila.
    "Gimana, nih?" tanya Kiki meminta pendapat kepada teman-temannya.
    "Udahlah, hari ini kita nggak usah ngamen aja dulu. Hasil ngamen kita kemarin kan juga lumayan banyak. Daripada mengamen, mending kita mandi di sungai, yuk!" usul Faldi.
    "Yuk!!" seru semuanya setuju. Semuanya, kecuali aku, karena aku tak mengerti.
    Faldi pun berjalan berdampingan bersama Rara. Lalu Ferdi bersama Rara. Dan aku bersama Kiki dan Bila. Kami pun berjalan menuju sungai yang dimaksud Faldi.

***

Samapi di sungai, Bila langsung masuk ke air. Sedangkan aku hanya diam. Sungai itu sangat indah. Beda dari sungai-sungai biasanya. Sungai ini bersih dan jernih. Terdapat banyak batu di sini. Udaranya pun masih sejuk.
    "Ayo masuk, Ki!" seru Faldi dan Ferdi.
    Kulihat ke arah Faldi dan Ferdi, mereka membuka baju mereka. Dan tampaklah tubuh gemuk Faldi serta tubuh kurus Ferdi. Mereka berloncat bersamaan dari sebuah batu. Byuuur!
    "Ki, ayo, masuk! Salsa, Rara, eum ..." ucapan Ferdi terputus.
    "Qelania," potongku.
    "Iya, semuanya, ayo, masuk! Bila saja sudah masuk. Masa kalian kalah?" lanjut Ferdi.
    Kiki tersenyum ke arahku. Dia pun menarik tanganku menuju sungai.
    "A ...!" aku menjerit kaget.
    Byuurr! Rasa air di sungai ini sangat dingin, tapi cocok sekali untuk berendam. Tiba-tiba, datang Salsa dari arah utara. Dia menceburkan dirinya. Kucari-cari Rara, dia tengah melihat ke arahku dengan tatapan kesal.
    Rara kenapa? tanya dalam hati.
    "Ra, ayo!" ajak Kiki.
    Rara mengangguk, lalu segera menceburkan dirinya ke sungai. Dan kami pun mulai berendam dengan santai.
    Merasa capek, aku pun bersandar pada batu, sembari tetap berendam. Rara yang melihatku, segera mengahampiriku dan ikut bersender pada batu.
    "Hai," sapanya.
    "Hai juga," balasku.
    "Eum ... aku mau ngomong sesuatu sama kamu," ucap Rara, tampak serius.
    "Mau ngomong apa?" tanyaku.
    "Tolong jaga Kiki, ya! Jangan sampai dia sakit atau gimana," pinta Rara. "Dan tolong, bantu dia untuk menggapai cita-citanya."
    "Ya, Insya Allah," jawabku, merasa pernyataan itu hanya bercanda. Aku? Melindungi? Kiki? Ada-ada saja. Memangnya ada apa, sih?
    "Kamu mau kan, berjanji sama aku bahwa kamu bakal menepati permintaanku?" tanya Rara, penuh harap.
    "Eum .... ya, tentu saja!" jawabku seraya tersenyum.
    Kemudian, Rara segera ikut berenang bersama yang lain. Wajahnya kini tampak lebih ceria daripada yang biasanya. Ada apa, ya?

***

Jumat, 03 Mei 2013

Warna Pelangi #bab3

Kiki

Entah kemana aku harus pergi. Kini aku telah sampai di jalan raya, tepatnya di kolong jembatan. Aku sangat capek. Rasa kantukku telah merajalela. Aku pun terduduk di sebuah batu, berharap seseorang menawarkan tempat tinggal untukku.
    Kupejamkan mataku, dan aku pun mulai bermimpi. Bermimpi ada seorang pria mendekatiku. Senyumnya sangat cerah. Matanya berwarna pelangi. Tangannya membawa sebuah piala. Lalu ia memberikan piala itu kepadaku. Aku luar biasa senang. Namun tiba-tiba, bayangannya hilang. Tubuhnya berubah menjadi hitam, lalu meluber menjadi abu.
    "A ..!" aku berteriak keras, merasa itulah bayangan yang paling menakutkan dalam hidupku.
    "Eh, maaf ..." ucap sebuah suara.
    Aku langsung kaget. Kubuka mataku dan kutengok ke atas. Ada seorang pria. Wajahnya bersih, model rambutnya seperti Iqbal Coboy Junior. Namun bajunya lusuh dan kumal berwarna coklat. Dia langsung tersenyum, menampakkan gigi-gigi rapi nan putih bersih miliknya.
    "Kamu siapa?" tanyaku bingung.
    "Oh, hai! Namaku Kiki Radit. Panggil saja Kiki. Aku adalah pengamen cilik di wilayah sini. Kalau namamu siapa? Mengapa kamu ada di sini?" tanya Kiki.
    "Eum ... Namaku Qelania Britany. Panggil saja Qela, Nia, atau Qelania. Eum ... aku nggak bisa cerita sekarang sama kamu, kenapa aku bisa sampai di sini. Mungkin kapan-kapan saja," jawabku dengan senyum manis.
    Kuingat-ingat saat aku terakhir kali menyikat gigiku. Gigiku kuning dan tak bersih. Tiba-tiba aku merasa malu pada Kiki. Dia pengamen cilik, namun giginya bersih dan rapi.
    "Mata kamu merah," ucap Kiki. "Kamu ngantuk, ya? Tidur di kardusku saja, yuk! Bareng Ibu dan Bila, adikku. Mau nggak?" tanya Kiki.
    Mataku memang sudah mengantuk. Aku ingin sekali tidur. Jadi, aku pun langsung menjawab "Ya". Kiki tersenyum dan segera menarik tanganku menuju sebuah rumah yang terbuat dari kardus berukuran kecil. Kami pun segera masuk dan kulihat ada seorang Ibu serta seorang Adik kecil berusia sekitar 2 tahun.
    "Bu, ini teman baruku. Namanya Qelania. Dia boleh, kan, tinggal di sini? Kayaknya dia udah ngantuk banget. Kasihan, Bu," ucap Kiki kepada Ibunya.
    "Ya, boleh saja. Rasanya, dia memang sudah mengantuk sekali. Mari, tidur di sini. Maaf ya, kalau tempatnya tidak nyaman. Ini bantalnya," ucap Ibu Kiki kepadaku sembari memberikan sebuah buku kumal kepadaku.
    Aku pun segera menerimanya dan berkata, "Ini bantalnya?".
    Ibu Kiki segera menjawab, "Ya. Maaf, ya, kami tidak mampu untuk membeli bantal seperti kebanyakan orang lainnya."
    "Iya, tak apa-apa," balasku seraya tersenyum. Aku pun segera tiduran di kardus. Dalam sekejap, aku pun langsung tertidur.

***

Pagi harinya, Ibu Kiki membangunkanku dengan lembut. Dia telah menyiapkan makanan untukku. Meskipun hanya sedikit, tapi kuyakin untuk mendapatkannya, butuh kerja keras. Karena itu, aku sangat menghargai kemurahan hati Ibu Kiki.
    Dengan lauk pauk seadanya, aku pun makan bersama Ibu Kiki dan adik Kiki yang bernama Bila. Aku makan dengan lahap sehingga lupa akan keberadaan Kiki. Begitu selesai makan, aku pun baru menanyakan keberadaan Kiki pada Ibu Kiki.
    "Bu, Kiki kemana?" tanyaku.
    "Dia lagi ngamen di jalan raya," jawab Ibu Kiki.
    "Oh ... Dia nggak sekolah?" tanyaku bingung.
    "Untuk cari makan saja susah. Apalagi untuk sekolah," balas Ibu Kiki seraya memberikan segelas teh kepadaku.
    "Eum ... Kenapa Ibu bolehin Kiki kerja di tempat seluas dan sebesar dan sebahaya ini? Memangnya Ibu tidak kerja?" tanyaku kembali.
    "Ibu sih, kerja. Jadi pembantu. Karena pendapatannya tak besar, Kiki jadi nekat ingin kerja. Awalnya Ibu tidak mengizinkan, tapi Kiki tetap saja sembunyi-sembunyi mengamen," jawab Ibu seraya keluar dari kardus.
    "Kiki ..! Ibu mau pergi ...!" teriak Ibu Kiki.
    Tak lama, Kiki pun datang dengan aqua gelas kosong dan gitar kecilnya.
    "Jaga Bila, ya! Ajak main juga Qelania!" perintah Ibu Kiki.
    "Iya, Bu," balas Kiki menurut.
    Kulihat Kiki langsung menggendong Bila. Sedangkan Ibu Kiki tengah memakai topi merah lusuhnya. Tiba-tiba aku merasa kasihan. Aku pun berniat untuk membantu keluarga Kiki. Tapi dengan apa, ya?
    "Assalamu'alaikum. Ibu pergi dulu, yah!" pamit Ibu Kiki.
    Kiki pun segera menjawab salam Ibunya, kemudian mencium tangan Ibunya. Ibu Kiki melihat ke arahku dan tersenyum. Kemudian beliau pun pergi. Entah mengapa, aku langsung mengejarnya.
    "Ibu ....!" panggilku.
    Ibu Kiki menengokkan kepalanya ke belakang. Aku pun segera menghampirinya, dan mencium tangannya seraya berkata, "Makasih ya, Bu, buat makanan dan tehnya."
    Ibu Kiki tersenyum, "Sama-sama."
    "Sebagai tanda terima kasih, hari ini, biarkan saja aku yang mengurus Bila," ucapku seraya tersenyum.
    Ibu Kiki hanya tersenyum, kemudian ia segera pergi. Aku pun langsung menghampiri Kiki dan menggendong Bila. Kiki pun tersenyum, "Terima kasih," ucapnya.
    "Tidak, harusnya aku yang berterima kasih karena kemurahan hati keluargamu," balasku.
    Kiki hanya tersenyum ke arahku. "Mau ikut aku bermain?" tanya Kiki.
    "Hm ... bukannya kamu mengamen, ya?" tanyaku bingung.
    "Hehehe ... Jadi, aku dan ke-6 temanku bakal mengamen bersama-sama kalau semua udah kumpul. Cuma tadi, Ridwan belum datang. Jadi kita main-main dulu, deh!" jawab Kiki.
    "Emangnya kamu main apa?" tanyaku.
    "Main bola," jawab Kiki semangat.
    "Yaah ... aku nggak bisa main bola. Jadi, palingan aku nonton saja. Nggak apa-apa, kan?" tanyaku ragu.
    "Tentu. Yuk!" Kiki segera menarik tanganku menuju sebuah tanah di kolong jembatan yang kosong.
    Aku hanya duduk di tepian bersama seorang anak perempuan cilik. Kulihat siapa saja yang bermain bola. Kiki, seorang anak laki-laki bertubuh gemuk, seorang perempuan berambut pendek, dan seorang laki-laki bertubuh kotor, kotor sekali.
    "Kakak ...!" rengek Bila tiba-tiba. "Ikut ..." lanjutnya.
    Kiki segera menghampiri Bila yang tengah digendong olehku. Dia pun tersenyum, "Bila mau ikutan? Tapi jangan nangis, ya!" pesan Kiki, lalu ia pun segera menarik lengan Bila.
    Aku hanya tersenyum. Lalu tiba-tiba anak perempuan di sampingku berkata, "Kiki anak yang baik, ya!" ucapnya.
    Aku langsung menoleh heran. Anak perempuan itu pun melihat ke arahku. Dia pun tersenyum, "Maaf, kalau aku kurang sopan. Namaku Rara. Aku teman dekatnya Kiki. Aku sudah kenal dengan Kiki lebih dari 3 tahun. Dia anak yang baik, sopan, dan ramah serta suka menolong. Kamu tinggal di rumahnya, ya?" tanya anak itu.
    "I ... iya .." jawabku.
    "Pasti kamu kagum, kan, dengan perlakuan keluarga Kiki? Keluarga Kiki memang baik hati. Kamu, dan kami, teman-teman Kiki semua, sangat beruntung bisa mengenal seorang pengamen cilik yang murah hati," ucap Rara.
    "Ya. Aku juga tak menyangka keluarga Kiki akan sebaik itu kepadaku," jawabku. "Oya, perkenalkan. Namaku Qelania. Terserah kamu mau memanggilku apa."
    "Kupanggil Qelania saja, ya? Namamu bagus, cantik sekali. Persis seperti orangnya," puji Rara.
    "Ah, biasa saja," ucapku tersipu malu. "Namamu jua bagus dan cantik. Seperti orangnya."
    Tiba-tiba sebuah bola mengenai kepalaku. Aku pun langsung menjerit, "Auw ...!" Tak lama, seorang ank perempuan berambut pendek mendekatiku dan berkata, "Maaf, ya! Aku tak sengaja."
    Aku pun hanya bisa menjawab, "Iya, tak apa-apa, kok!" sembari menahan sakit di kepalaku.
    Anak itu segera mengambil bola yang tadi mengenai kepalaku, lalu segera kembali dan bermain bola lagi. Lalu, Rara pun berkata padaku, "Yang tadi itu namanya Salsa. Dia memang tomboi. Maaf, ya! Dia memang suka ceroboh orangnya. Dan dia suka gampang marah. Jadi, jangan macam-macam padanya. Maklumlah, Bapaknya tukang mabok dan suka berjudi. Sedangkan Ibunya sudah meninggal. Dia mengalami stress berat sehingga kabur kemari," jelas Rara.
    "Oh ..." Aku pun mulai mengerti.
    Kasihan sekali Salsa. Rasanya dia tak pernah diperhatikan. Bapaknya pasti sibuk berjudi. Dan Ibunya sudah meninggal. Pasti sedih sekali rasanya. Sedangkan aku? Aku masih punya orang tua, tapi tak pernah bersyukur.
    "Oya, yang tubuhnya gemuk itu namanya Faldi," ucap Rara. "Dia suka sekali makan, maklumlah. Tubuhnya saja gemuk. Lalu yang berkacamata namanya Ferdi. Dia suka sekali baca cerita. Tapi karena tidak punya uang, dia hanya bisa membaca cerita-cerita di koran bekas."
    "Oh ... begitu," gumamku.
    Kasihan sekali mereka. Duuh, aku ingin sekali membantu. Tapi membantu dengan apa, ya? ucapku dalam hati.
    "Oya, ada juga Ridwan," lanjut Rara. "Dia anaknya sombong, mentang-mentang dia sudah bisa mengontrak di sebuah rumah. Dia selalu mengejek kami miskin. Dan dia selalu merasa dialah yang paling kaya raya. Dia juga selalu merasa bahwa dia adalah pemimpin kami semua. Ugh! Aku sangat kesal padanya."
    "Ridwan? Oh ... kata Kiki, gara-gara dia belum datang, jadi kalian main dulu, deh!" balasku.
    "Dan satu lagi, dia selalu ingin ditunggu orang, tapi dia tak pernah mau menunggu orang lain," ucap Rara cuek.
    Tak lama, datang seorang laki-laki tinggi berseragam putih-merah datang sembari memamerkan tas lusuh miliknya. "Ehm ..." ucapnya.
    Tiba-tiba, semua menengok ke arahnya. Faldi langsung berkata, "Kau lama sekali. Ngapain saja?" tanya Faldi.
    "Ehm, sorry, gue nggak level ngomong sama orang miskin kayak kalian. Gue itu orang mampu, nggak kayak kalian. Dan gue kasih tahu, nih! Gue telat karena tadi persiapan ke sekolah. Gue dapet beasiswa karena jago matematika. Gue sekolah di sekolahan bagus, nggak kayak kalian yang nggak sekolah. Kasian banget, deh ..." ledeknya. "Oya, dan mulai hari ini, gue alias Ridwan, bakal berhenti mengamen! Masa anak pintar mengamen dan berteman sama kalian? Kan nggak banget, gitu!" lanjut anak itu yang ternyata bernama Ridwan.
    Tiba-tiba, amarah Salsa langsung meledak, "Heh, ngomong udah pake gue-gue-an, jalan sombong banget, kamu kira kamu siapa? Mengatai kita miskin. Sadar, dong, sadar! Kamu juga nggak sederajat sama orang-orang kaya raya di luar sana!" bentak Salsa marah.
    Kiki, Faldi dan Ferdi pun segera menenangkan Salsa. Jujur, aku juga sangat kesal pada perkataan Ridwan. Aku pun langsung membalas perkataannya. "Benar, tuh, apa yang dikatakan Salsa! Kamu jangan seenaknya dong, ngatain kita miskin. Mentang-mentang bisa sekolah. Memangnya, kita juga nggak bakal sekolah kayak kamu, gitu? Asal tahu saja, ya! Orang sombong itu, nanti pasti kena batunya!" ucapku keras.
    Ridwan menoleh ke arahku. Dengan muka sombongnya dia berkata, "Heh, lo anak baru? Lo ikutan anggota miskin juga? Hahaha ... kasihan bener, lo! Baru berapa menit gue keluar, udah ada gantinya. Hahaha .... orang miskin memang nggak akan pernah ada habisnya, ya! Kasihan banget," ledeknya.
    "Ugh!" gumamku kesal.
    Aku pun berlari menonjoknya, namun Rara menghalangiku. "Sabar, Qelania ... Sabar ..." ucap Rara menenangkanku.
    "Apa, lo? Mau nonjok gue? Kok, nggak jadi? Takut, ya?" tanya Ridwan.
    Aku menggeleng dengan keras. "Dasar sombong! Lihatlah nanti! Kamu pasti kena batunya!" teriakku.
    "Heh, gue tuh bukan sombong! Tapi emang kenyataannya kayak gitu!" bentak Ridwan.
    "Hey, jangan sekali-kali bentak Qelania!" teriak Kiki tiba-tiba.
    Aku langsung menoleh ke arah Kiki. Wajahnya merah membara terbakar oleh rasa kesal, sama sepertiku. Kulihat tangannya mengepal. Dan kakinya bergetar. Jelas sekali dia ingin menonjok Ridwan. Namun ia sekuat mungkin untuk menahannya.
    Tiba-tiba muncul rasa kagum dalam benakku. Kiki. Pengamen cilik dengan sikap yang sopan, baik, ramah, dan suka saling menolong sesama. Dia sungguh mengagumkan! Tak pernah terpikir olehku akan mendapat teman sebaik dia ....

Kamis, 02 Mei 2013

Warna Pelangi #bab2

Pergi

Malam telah tiba. Mataku sudah bengkak karena terlalu lama menangis. Rasa kantukku sudah tak dapat ditahan lagi. Namun telingaku masih saja mendengar suara pertengkaran Ayah dan Ibu. Rasanya aku ingin mencopot saja telingaku ini, daripada harus mendengarkan pertengkaran yang tak akan ada habisnya.
    "Kapan Ayah dan Ibu akan berbaikan lagi, Ya Allah?" tanyaku terisak.
    Tiba-tiba, mulai terpikir olehku bahwa aku akan pergi dari rumah ini, hingga Ayah dan Ibu berbaikan, malam ini juga! Aku pun langsung bangun dan mencuci wajahku.
    Tiba-tiba aku teringat satu hal.
    Aku segera mengambil sebuah kertas dan sebuah pena. Lalu kutuliskan di sana:
    Aku akan pergi dari rumah ini, sampai tak ada lagi yang ribut di rumah ini. Sampai tak ada lagi pertengkaran antara Ayah dan Ibu di rumah ini. 
Salam sayang, Qelania Britany

    Setelah itu, aku segera membawa surat itu, memakai jilbab putihku, lalu segera turun. Untuk sampai ke pintu utama, aku harus melewati ruang keluarga, tempat dimana Ayah dan Ibu tengah bertengkar.
    Namun saat melewatinya, aku hanya diam saja dan menyimpan kertas yang kubawa di meja kaca. Lalu aku segera melewati ruang tamu, membuka pintu utama dan pergi. Entah apa yang dipikirkan orang tuaku, tapi yang pasti, dia tak mengejarku sama sekali, untuk beberapa menit.
    Kulihat ke arah belakang 3 menit kemudian. Kulihat Ayah pergi menuju kamar. Dan ibu tengah membaca surat yang kutinggalkan. Merasa tak enak, aku segera pergi. Aku tak mau mendengar tangisan Ibu yang akan membuatku menggagalkan rencanaku ini.
    Andaikan semua tak terjadi. Andaikan mataku normal dan tidak buta warna. Andaikan hasil yang diberikan dokter itu salah. Andaikan, andaikan orang tuaku tak bertengkar... Pasti aku masih tinggal di rumah. Mendekap di balik selimut hangat. Dan merasakan belaian serta suara-suara orang tuaku yang selalu menghiburku di kala sedih ... Andaikan ... Andaikan ...

Warna Pelangi #bab1

Surat Hari Minggu

Aku masih ingat betul, bagaimana proses pemeriksaan tadi. Sangat menegangkan, sangat menakutkan. Tapi lebih menakutkan lagi saat kau membaca hasilnya. Aku tak habis pikir, mengapa aku bisa begini? Siapa yang menurunkan penyakit ini? Namun hingga saar ini aku belum tahu.
    Aku selalu, dan selalu berharap agar apa yang dikatakan pada surat itu tidak benar adanya. Semua hanya tipuan belaka. Atau mungkin semua itu karena kesalahan Dokter dalam memeriksaku.
    Kudengar bentakan-bentakan keras di lantai 1. Bentakan-bentakan itu bersala dari Ayah dan Ibuku, yang tengah bertengkar, hanya karena aku. Karena surat itu. Karena penyakit itu.
    "Ini semua salah Ayahmu!" bentak Ayah.
    "Aku tidak tahu jika akhirnya akan begini! Jangan menyalahkan Ayahku terus!" bantah Ibu.
    Aku mencoba menutup telingaku. Rasanya pedih sekali mendengar pertengkaran itu. Rasanya sakit ... sekali. Tak terasa, butir-butir air mata jatuh ke pipiku. Aku terlalu pedih untuk menerimanya. Terlalu pedih untuk mengakuinya. Bahwa aku menderita penyakit buta warna.
    ***
Hari Sabtu ...
    Hari ini, Ibu mengajakku untuk pergi ke dokter mata. Entah untuk apa. Sampai di sana, aku ditanyai berbagai macam pertanyaan untuk anak kecil. Dan di sana pulalah terbukti, kemampuan melihat warnaku seperti anak kecil.
    "Tas ini warna apa, coba?" tanya Dokter Winda seraya menunjukkan tas berwarna merah.
    "coklat," jawabku mantap.
    Kulihat Dokter Winda menggelengkan kepalanya dan menuliskan sesuatu pada sebuah kertas. Kemudian ia menatap mata Ibu yang berkaca-kaca dilanda rasa khawatir.
    "Suratnya akan saya kirim setelah hasil tesnya keluar," ucap Dokter Winda.
    "Baik, Dok," balas Ibu.
    Lalu, Ibu pun mengajakku untuk pulang. Aku bingung. Ada apa sebenarnya? Tadi itu aku dites apa? Mengapa pertanyaannya seperti pertanyaan anak umur 2 tahun? Aku kan, sudah besar! Aku pun mulai merasa enteng karena kurasa itu tak apa-apa. Namun ternyata, aku salah.

Hari Minggu ....
    Hari ini, Ayah, Ibu, Kak Kanya dan Kak Nino pergi berolahraga. Sedangkan aku hanya meringkuk di selimut kedinginan. Aku menolak ajakan keluargaku untuk lari pagi. Karena aku merasa badanku kurang enak hari ini.
    Saat tengah santai-santainya tiduran, tiba-tiab bel di rumahku berbunyi. "Ting tong!"
    Dengan enggan, kubuka selimut yang menutupiku dan ku buka pintu rumahku. Kulihat ada seorang tukang pos yang tengah membawa sebuah amplop panjang. Alamat tujuannya diarahkan kepada Ibuku. Setelah tukang pos itu pergi, aku pun segera membuka amplop tersebut. yup! Kalian boleh menamaiku sebagai anak kepo karena memang begitulah sikapku.
    Kulihat isi surat tersebut. Aku bingung, maksudnya apa, nih? Namun tiba-tiab kulihat ada namaku di surat tersebut:

    Qelania Britany positif menderita buta warna.
   
    Seketika, aku pun menangis sejadi-jadinya. Ayah dan Ibu yang baru pulang, segera menghampiriku dan mengelus rambutku. "Sabar, Nak ... Mungkin saja Dokter Winda salah ..." ucap Ibu menghibur.
    Aku hanya bisa menangis. Tak lama, Ayah mulai menyalahkan Kakek karena penyebab penyakit ini. Aku tak mengerti mengapa Kakek yang disalahkan? Aku yang paling tak suka mendengar orang tuaku bertengkar, segera naik ke kamarku dan aku hanya bisa menangis.

***

-Bersambung-
(Ditunggu komentarnya..)