Entah kemana aku harus pergi. Kini aku telah sampai di jalan raya, tepatnya di kolong jembatan. Aku sangat capek. Rasa kantukku telah merajalela. Aku pun terduduk di sebuah batu, berharap seseorang menawarkan tempat tinggal untukku.
Kupejamkan mataku, dan aku pun mulai bermimpi. Bermimpi ada seorang pria mendekatiku. Senyumnya sangat cerah. Matanya berwarna pelangi. Tangannya membawa sebuah piala. Lalu ia memberikan piala itu kepadaku. Aku luar biasa senang. Namun tiba-tiba, bayangannya hilang. Tubuhnya berubah menjadi hitam, lalu meluber menjadi abu.
"A ..!" aku berteriak keras, merasa itulah bayangan yang paling menakutkan dalam hidupku.
"Eh, maaf ..." ucap sebuah suara.
Aku langsung kaget. Kubuka mataku dan kutengok ke atas. Ada seorang pria. Wajahnya bersih, model rambutnya seperti Iqbal Coboy Junior. Namun bajunya lusuh dan kumal berwarna coklat. Dia langsung tersenyum, menampakkan gigi-gigi rapi nan putih bersih miliknya.
"Kamu siapa?" tanyaku bingung.
"Oh, hai! Namaku Kiki Radit. Panggil saja Kiki. Aku adalah pengamen cilik di wilayah sini. Kalau namamu siapa? Mengapa kamu ada di sini?" tanya Kiki.
"Eum ... Namaku Qelania Britany. Panggil saja Qela, Nia, atau Qelania. Eum ... aku nggak bisa cerita sekarang sama kamu, kenapa aku bisa sampai di sini. Mungkin kapan-kapan saja," jawabku dengan senyum manis.
Kuingat-ingat saat aku terakhir kali menyikat gigiku. Gigiku kuning dan tak bersih. Tiba-tiba aku merasa malu pada Kiki. Dia pengamen cilik, namun giginya bersih dan rapi.
"Mata kamu merah," ucap Kiki. "Kamu ngantuk, ya? Tidur di kardusku saja, yuk! Bareng Ibu dan Bila, adikku. Mau nggak?" tanya Kiki.
Mataku memang sudah mengantuk. Aku ingin sekali tidur. Jadi, aku pun langsung menjawab "Ya". Kiki tersenyum dan segera menarik tanganku menuju sebuah rumah yang terbuat dari kardus berukuran kecil. Kami pun segera masuk dan kulihat ada seorang Ibu serta seorang Adik kecil berusia sekitar 2 tahun.
"Bu, ini teman baruku. Namanya Qelania. Dia boleh, kan, tinggal di sini? Kayaknya dia udah ngantuk banget. Kasihan, Bu," ucap Kiki kepada Ibunya.
"Ya, boleh saja. Rasanya, dia memang sudah mengantuk sekali. Mari, tidur di sini. Maaf ya, kalau tempatnya tidak nyaman. Ini bantalnya," ucap Ibu Kiki kepadaku sembari memberikan sebuah buku kumal kepadaku.
Aku pun segera menerimanya dan berkata, "Ini bantalnya?".
Ibu Kiki segera menjawab, "Ya. Maaf, ya, kami tidak mampu untuk membeli bantal seperti kebanyakan orang lainnya."
"Iya, tak apa-apa," balasku seraya tersenyum. Aku pun segera tiduran di kardus. Dalam sekejap, aku pun langsung tertidur.
***
Pagi harinya, Ibu Kiki membangunkanku dengan lembut. Dia telah menyiapkan makanan untukku. Meskipun hanya sedikit, tapi kuyakin untuk mendapatkannya, butuh kerja keras. Karena itu, aku sangat menghargai kemurahan hati Ibu Kiki.
Dengan lauk pauk seadanya, aku pun makan bersama Ibu Kiki dan adik Kiki yang bernama Bila. Aku makan dengan lahap sehingga lupa akan keberadaan Kiki. Begitu selesai makan, aku pun baru menanyakan keberadaan Kiki pada Ibu Kiki.
"Bu, Kiki kemana?" tanyaku.
"Dia lagi ngamen di jalan raya," jawab Ibu Kiki.
"Oh ... Dia nggak sekolah?" tanyaku bingung.
"Untuk cari makan saja susah. Apalagi untuk sekolah," balas Ibu Kiki seraya memberikan segelas teh kepadaku.
"Eum ... Kenapa Ibu bolehin Kiki kerja di tempat seluas dan sebesar dan sebahaya ini? Memangnya Ibu tidak kerja?" tanyaku kembali.
"Ibu sih, kerja. Jadi pembantu. Karena pendapatannya tak besar, Kiki jadi nekat ingin kerja. Awalnya Ibu tidak mengizinkan, tapi Kiki tetap saja sembunyi-sembunyi mengamen," jawab Ibu seraya keluar dari kardus.
"Kiki ..! Ibu mau pergi ...!" teriak Ibu Kiki.
Tak lama, Kiki pun datang dengan aqua gelas kosong dan gitar kecilnya.
"Jaga Bila, ya! Ajak main juga Qelania!" perintah Ibu Kiki.
"Iya, Bu," balas Kiki menurut.
Kulihat Kiki langsung menggendong Bila. Sedangkan Ibu Kiki tengah memakai topi merah lusuhnya. Tiba-tiba aku merasa kasihan. Aku pun berniat untuk membantu keluarga Kiki. Tapi dengan apa, ya?
"Assalamu'alaikum. Ibu pergi dulu, yah!" pamit Ibu Kiki.
Kiki pun segera menjawab salam Ibunya, kemudian mencium tangan Ibunya. Ibu Kiki melihat ke arahku dan tersenyum. Kemudian beliau pun pergi. Entah mengapa, aku langsung mengejarnya.
"Ibu ....!" panggilku.
Ibu Kiki menengokkan kepalanya ke belakang. Aku pun segera menghampirinya, dan mencium tangannya seraya berkata, "Makasih ya, Bu, buat makanan dan tehnya."
Ibu Kiki tersenyum, "Sama-sama."
"Sebagai tanda terima kasih, hari ini, biarkan saja aku yang mengurus Bila," ucapku seraya tersenyum.
Ibu Kiki hanya tersenyum, kemudian ia segera pergi. Aku pun langsung menghampiri Kiki dan menggendong Bila. Kiki pun tersenyum, "Terima kasih," ucapnya.
"Tidak, harusnya aku yang berterima kasih karena kemurahan hati keluargamu," balasku.
Kiki hanya tersenyum ke arahku. "Mau ikut aku bermain?" tanya Kiki.
"Hm ... bukannya kamu mengamen, ya?" tanyaku bingung.
"Hehehe ... Jadi, aku dan ke-6 temanku bakal mengamen bersama-sama kalau semua udah kumpul. Cuma tadi, Ridwan belum datang. Jadi kita main-main dulu, deh!" jawab Kiki.
"Emangnya kamu main apa?" tanyaku.
"Main bola," jawab Kiki semangat.
"Yaah ... aku nggak bisa main bola. Jadi, palingan aku nonton saja. Nggak apa-apa, kan?" tanyaku ragu.
"Tentu. Yuk!" Kiki segera menarik tanganku menuju sebuah tanah di kolong jembatan yang kosong.
Aku hanya duduk di tepian bersama seorang anak perempuan cilik. Kulihat siapa saja yang bermain bola. Kiki, seorang anak laki-laki bertubuh gemuk, seorang perempuan berambut pendek, dan seorang laki-laki bertubuh kotor, kotor sekali.
"Kakak ...!" rengek Bila tiba-tiba. "Ikut ..." lanjutnya.
Kiki segera menghampiri Bila yang tengah digendong olehku. Dia pun tersenyum, "Bila mau ikutan? Tapi jangan nangis, ya!" pesan Kiki, lalu ia pun segera menarik lengan Bila.
Aku hanya tersenyum. Lalu tiba-tiba anak perempuan di sampingku berkata, "Kiki anak yang baik, ya!" ucapnya.
Aku langsung menoleh heran. Anak perempuan itu pun melihat ke arahku. Dia pun tersenyum, "Maaf, kalau aku kurang sopan. Namaku Rara. Aku teman dekatnya Kiki. Aku sudah kenal dengan Kiki lebih dari 3 tahun. Dia anak yang baik, sopan, dan ramah serta suka menolong. Kamu tinggal di rumahnya, ya?" tanya anak itu.
"I ... iya .." jawabku.
"Pasti kamu kagum, kan, dengan perlakuan keluarga Kiki? Keluarga Kiki memang baik hati. Kamu, dan kami, teman-teman Kiki semua, sangat beruntung bisa mengenal seorang pengamen cilik yang murah hati," ucap Rara.
"Ya. Aku juga tak menyangka keluarga Kiki akan sebaik itu kepadaku," jawabku. "Oya, perkenalkan. Namaku Qelania. Terserah kamu mau memanggilku apa."
"Kupanggil Qelania saja, ya? Namamu bagus, cantik sekali. Persis seperti orangnya," puji Rara.
"Ah, biasa saja," ucapku tersipu malu. "Namamu jua bagus dan cantik. Seperti orangnya."
Tiba-tiba sebuah bola mengenai kepalaku. Aku pun langsung menjerit, "Auw ...!" Tak lama, seorang ank perempuan berambut pendek mendekatiku dan berkata, "Maaf, ya! Aku tak sengaja."
Aku pun hanya bisa menjawab, "Iya, tak apa-apa, kok!" sembari menahan sakit di kepalaku.
Anak itu segera mengambil bola yang tadi mengenai kepalaku, lalu segera kembali dan bermain bola lagi. Lalu, Rara pun berkata padaku, "Yang tadi itu namanya Salsa. Dia memang tomboi. Maaf, ya! Dia memang suka ceroboh orangnya. Dan dia suka gampang marah. Jadi, jangan macam-macam padanya. Maklumlah, Bapaknya tukang mabok dan suka berjudi. Sedangkan Ibunya sudah meninggal. Dia mengalami stress berat sehingga kabur kemari," jelas Rara.
"Oh ..." Aku pun mulai mengerti.
Kasihan sekali Salsa. Rasanya dia tak pernah diperhatikan. Bapaknya pasti sibuk berjudi. Dan Ibunya sudah meninggal. Pasti sedih sekali rasanya. Sedangkan aku? Aku masih punya orang tua, tapi tak pernah bersyukur.
"Oya, yang tubuhnya gemuk itu namanya Faldi," ucap Rara. "Dia suka sekali makan, maklumlah. Tubuhnya saja gemuk. Lalu yang berkacamata namanya Ferdi. Dia suka sekali baca cerita. Tapi karena tidak punya uang, dia hanya bisa membaca cerita-cerita di koran bekas."
"Oh ... begitu," gumamku.
Kasihan sekali mereka. Duuh, aku ingin sekali membantu. Tapi membantu dengan apa, ya? ucapku dalam hati.
"Oya, ada juga Ridwan," lanjut Rara. "Dia anaknya sombong, mentang-mentang dia sudah bisa mengontrak di sebuah rumah. Dia selalu mengejek kami miskin. Dan dia selalu merasa dialah yang paling kaya raya. Dia juga selalu merasa bahwa dia adalah pemimpin kami semua. Ugh! Aku sangat kesal padanya."
"Ridwan? Oh ... kata Kiki, gara-gara dia belum datang, jadi kalian main dulu, deh!" balasku.
"Dan satu lagi, dia selalu ingin ditunggu orang, tapi dia tak pernah mau menunggu orang lain," ucap Rara cuek.
Tak lama, datang seorang laki-laki tinggi berseragam putih-merah datang sembari memamerkan tas lusuh miliknya. "Ehm ..." ucapnya.
Tiba-tiba, semua menengok ke arahnya. Faldi langsung berkata, "Kau lama sekali. Ngapain saja?" tanya Faldi.
"Ehm, sorry, gue nggak level ngomong sama orang miskin kayak kalian. Gue itu orang mampu, nggak kayak kalian. Dan gue kasih tahu, nih! Gue telat karena tadi persiapan ke sekolah. Gue dapet beasiswa karena jago matematika. Gue sekolah di sekolahan bagus, nggak kayak kalian yang nggak sekolah. Kasian banget, deh ..." ledeknya. "Oya, dan mulai hari ini, gue alias Ridwan, bakal berhenti mengamen! Masa anak pintar mengamen dan berteman sama kalian? Kan nggak banget, gitu!" lanjut anak itu yang ternyata bernama Ridwan.
Tiba-tiba, amarah Salsa langsung meledak, "Heh, ngomong udah pake gue-gue-an, jalan sombong banget, kamu kira kamu siapa? Mengatai kita miskin. Sadar, dong, sadar! Kamu juga nggak sederajat sama orang-orang kaya raya di luar sana!" bentak Salsa marah.
Kiki, Faldi dan Ferdi pun segera menenangkan Salsa. Jujur, aku juga sangat kesal pada perkataan Ridwan. Aku pun langsung membalas perkataannya. "Benar, tuh, apa yang dikatakan Salsa! Kamu jangan seenaknya dong, ngatain kita miskin. Mentang-mentang bisa sekolah. Memangnya, kita juga nggak bakal sekolah kayak kamu, gitu? Asal tahu saja, ya! Orang sombong itu, nanti pasti kena batunya!" ucapku keras.
Ridwan menoleh ke arahku. Dengan muka sombongnya dia berkata, "Heh, lo anak baru? Lo ikutan anggota miskin juga? Hahaha ... kasihan bener, lo! Baru berapa menit gue keluar, udah ada gantinya. Hahaha .... orang miskin memang nggak akan pernah ada habisnya, ya! Kasihan banget," ledeknya.
"Ugh!" gumamku kesal.
Aku pun berlari menonjoknya, namun Rara menghalangiku. "Sabar, Qelania ... Sabar ..." ucap Rara menenangkanku.
"Apa, lo? Mau nonjok gue? Kok, nggak jadi? Takut, ya?" tanya Ridwan.
Aku menggeleng dengan keras. "Dasar sombong! Lihatlah nanti! Kamu pasti kena batunya!" teriakku.
"Heh, gue tuh bukan sombong! Tapi emang kenyataannya kayak gitu!" bentak Ridwan.
"Hey, jangan sekali-kali bentak Qelania!" teriak Kiki tiba-tiba.
Aku langsung menoleh ke arah Kiki. Wajahnya merah membara terbakar oleh rasa kesal, sama sepertiku. Kulihat tangannya mengepal. Dan kakinya bergetar. Jelas sekali dia ingin menonjok Ridwan. Namun ia sekuat mungkin untuk menahannya.
Tiba-tiba muncul rasa kagum dalam benakku. Kiki. Pengamen cilik dengan sikap yang sopan, baik, ramah, dan suka saling menolong sesama. Dia sungguh mengagumkan! Tak pernah terpikir olehku akan mendapat teman sebaik dia ....